Minggu, 26 Februari 2017

Rumah Sutan Hasyim Tuanku Tinggi di Lintau (1880)


Judul yang diberikan Tropen Museum untuk foto ini sebenarnya adalah Mesjid dan Surau di Lintau (tahun 1880-1900). Sepertinya oke, karena anjungan diatasnya mengingatkan kepada mesjid tua Rao-Rao yang juga berlokasi di Kab. Tanah Datar. Gunanya tempat azan dikumandangkan. Karena pada waktu itu belum ada TOA atau pengeras suara, jadi sang muazzin harus manjat-manjat dulu ke tempat tinggi biar suaranya kedengaran oleh orang sekeliling.

Tapi tunggu dulu. Bukankah arsitektur mesjid minang lamo pakemnya berbentuk limas bersusun tiga? Niniak kita sejak dulu sepertinya sudah memisahkan bentuk atap yang berhubungan dengan urusan duniawi dan urusan ukhrawi. Rasanya belum pernah ketemu arsitek tradisional minangkabau yang menabrak pola itu. Jadi, bangunan apa ini?

Setelah bongkar-bongkar laman sana dan laman sini, bersiroboklah sebuah laman yang dengan meyakinkan memastikan bahwa bangunan ini adalah rumah milik Angku Sutan Hasyim Tuanku Tinggi. Lokasinya benar di Lintau. Hal ini telah dikonfirmasi oleh salah seorang keturunan beliau yang mengaku pernah bermain-main ke anjungan itu bersama kakak-kakaknya pada tahun 1960-an. Artinya, seharusnya ada foto lain dari rumah ini. Karena pada tahun 1960-an kamera sudah bukan barang yang langka. Tapi sayangnya ambo tidak menemukannya.

Siapakah sebenarnya sang pemilik rumah ini sehingga begitu betul bagus dan unik bentuknya. Ternyata kisah hidup Sutan Hasyim Tuanku Tinggi tidak kalah berliku dan unik.

Beliau diperkirakan lahir pada tahun 1832 sebagai anak dari Rajo Adat di Buo yang terakhir yaitu Nan Dipertuan Sembahyang Sultan Abdul Jalil Lukmanul Hakim Muningsyah. Karena ibunya Puti Fathimah Tuan Aciek Gadih Hitam wafat sesaat setelah persalinannya, maka oleh ayahnya ia diserahkan kepada neneknya Tuan Gadih Puti Reno Sari Alam, ibusuri Rajo Adat di Buo. Oleh neneknya, ia dicarikan ibu susuan dengan hadiah beberapa bidang sawah yang dikenal dengan nama Sawah Kubang Gajah.

Pada saat Perang Paderi, Lintau diduduki Belanda pada tahun 1833. Hal ini memaksa semua keluarga kerajaan menyingkir ke Sumpur Kudus. Namun dari laporan komandan militer tentara Belanda di Lintau, sampai tahun 1855 masih terjadi pemberontakan rakyat yang dipimpin oleh Nan Dipertuan Sembahyang beserta anak-anaknya. Meskipun Bonjol telah takluk pada tahun 1837.

Cerita meloncat. Entah bagaimana ceritanya, Sutan Hasyim Tuanku Tinggi selanjutnya tercatat sebagai Penghulu Kepala di Lintau. Sebenarnya hal ini adalah taktik yang sering dijalankan Belanda dalam menghadapi pemberontakan dimana saja di Hindia Belanda. Yaitu dengan mengangkat seorang keluarga kerajaan atau tokoh menjadi pemimpin namun dengan mematikan ruang gerak tokoh lain. Disatu sisi masyarakat merasa bahwa pemimpin mereka dihargai, disisi lain dengan hanya adanya satu tokoh maka Belanda akan lebih mudah mengendalikannya. 

Hal ini terbukti bahwa tercatat pada tahun 1864 Sutan Hasyim pernah menghadap Residen untuk meminta izin agar ayahnya diizinkan kembali ke Buo namun permintaan tersebut ditolak. Meneer Residen tidak mau ambil resiko. Jadilah Angku Sutan Hasyim Tuanku Tinggi menjadi penghulu kepala di Lintau hingga akhir hayatnya sekitar tahun 1917.

Kembali ke foto diatas, kalau dizoom akan semakin memperkuat bahwa foto ini adalah foto sebuah rumah. Pertama, di sebelah kiri rumah terlihat sebuah bangunan yang dari bentuknya tidak bisa tidak adalah sebuah lumbung padi. Lumbung padi adalah kelengkapan dari sebuah rumah di Minangkabau, bukan kelengkapan mesjid. Kedua, di kanan depan bangunan, yang awalnya ambo kira adalah sebuah Rumah Tabuah, setelah dizoom ternyata adalah sebuah kandang bendi, lengkap dengan kudanya yang membelakangi kamera. Ketiga, judul yang dipasang juga menunjukkan keraguan pemotret. Mana ada mesjid bercampur dengan surau? Aya-aya wae. Hehe.

Terakhir, punya foto Angku Hasyim tidak, bung? Untuk yang satu ini memang tidak ada. Tapi coba lihat lagi baik-baik foto diatas. Ada seseorang berbeskap putih memakai saluak dan tangan kanan bertopang kepada sebuah tongkat, duduk di tangga depan rumah. Posisi duduknya mencerminkan tingkat kepercayaan diri yang tinggi. Kaki kiri di depan dengan kaki kanan posisi mengangkang. Sementara di dua jendela atas kiri dan kanan ada dua orang berbaju putih dan berbadan besar (karena jendelanya terlihat penuh tertutupi badan mereka) juga melihat ke kamera.

Kemungkinannya, dua orang diatas adalah pejabat Belanda, sementara yang dibawah....kira-kira siapa yang berani duduk bergaya di antak-an janjang rumah penghulu kepala sementara diatas rumah ada 2 orang Belanda? Tak lain tentu si empunya rumah sendiri...!


Sumber: Tropen Museum; lintau.info


10 komentar:

  1. Keren lo konsep arsitektur masjid dan rumah minang lamo Yo da. Btw masih ado rumah tu kini da?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kabanyo ndak ado lai. Apo Yervi minat jalan-jalan ka Lintau? :)

      -Nt.

      Hapus
  2. da, buliah dak wak dapek terjemahan langkok dari kisah Van Batavia Naar Atjeh (1904)
    pernah wak cari versi langkok kisah no
    tapi dak bisa wak manerjemahan no doh, dek babahaso bulando
    tarimo kasih banyak sabalun no da

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ambo ndak punyo. Nan ado tu baansua-ansua manterjemahannyo. Cubo anda kruss lanjutkan yo? :)

      -Nt.

      Hapus
  3. ooo wak sangko kok lai nan terjemahan langkok no samo uda,
    uda se nan lai mangarati baso bulando bainsuik2 manerjemahan no,
    apo lai aawak nan dak ngarati samo sakali hahaha

    BalasHapus
  4. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  5. nice kajiannyo da :), manuruik ambo itu rumah Minangkabau bagaya Bulando, dek maliek gambarnyo maingek'n ambo jo rumah eropa abad pertengahan, bisa dicaliak dari bantuak kubahnyo yang indak lazim jo bantuaknyo hampia mangarucuik.

    BalasHapus
  6. Mantap da jadi ingek sejarah kito :D
    salam urang minang kasadonyo.

    BalasHapus
  7. Ini repost kah bang? perasaan sudah pernah liat/ baca artikel yang sama sebelum2nya.

    BalasHapus
  8. Mantap..
    Salam kenal aja.
    Artikel nya bagus..

    BalasHapus

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...