Senin, 22 April 2013

Roehana Kudus dan Amai Setia (1911)


Bersempena dengan hari Kartini, ambo teringat dengan "Kartini Ranah Minang" yang gaungnya tidak semeriah ibu kita Kartini. Beliau adalah Rangkayo Siti Roehana Kudus.

Lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, 20 Desember 1884 dari ayah yang bernama Mohamad Rasjad Maharadja Soetan dan ibu bernama Kiam. Roehana adalah kakak tiri dari Soetan Sjahrir dan sepupu H. Agus Salim. Roehana hidup di zaman yang sama dengan Kartini, dimana akses perempuan untuk mendapat pendidikan yang baik sangat dibatasi.

Walaupun Roehana tidak bisa mendapat pendidikan secara formal namun ia rajin belajar dengan ayahnya, seorang pegawai pemerintah Belanda yang selalu membawakan Roehana bahan bacaan dari kantor. Keinginan dan semangat belajarnya yang tinggi membuatnya cepat menguasai materi yang diajarkan ayahnya. Dalam umur yang masih sangat muda Roehana sudah bisa menulis dan membaca, dan berbahasa Belanda. Selain itu ia juga belajar abjad Arab, Latin, dan Arab-Melayu.

Saat ayahnya ditugaskan ke Alahan Panjang, Roehana bertetanga dengan pejabat Belanda atasan ayahnya. Dari istri pejabat Belanda itu Roehana belajar menyulam, menjahit, merenda, dan merajut yang merupakan keahlian perempuan Belanda. Disini ia juga banyak membaca majalah terbitan Belanda yang memuat berbagai berita politik, gaya hidup, dan pendidikan di Eropa.

Roehana menetap di Koto Gadang setelah ibunya meninggal pada 1897 dan menikah dengan sepupunya bernama Abdul Kudus, seorang Sarjana Hukum pada usia 24 tahun. Selanjutnya ia bersama Rangkayo Rakena Putri mendirikan perkumpulan yang diberi nama Keradjinan Amai Setia pada 11 Februari 1911.  Amai sendiri artinya adalah ibu dalam dialek Agam. Jadi Amai Setia adalah ibu-ibu yang setia.


Sejak awal Keradjinan Amai Setia dimaksudkan untuk  bergerak dalam bidang sebagaimana yang tercantum dalam pasal 2 dari anggaran dasarnya yang berbunyi sbb : De vereniging stelt zich tot doel de pheffing van de Minangkabausche vrouw en tracht dit doel te bereiken door het geven van onderricht in schrijven, lezen en rekenen, het beheren van de hiishouding, goede manieren, fraaie handwerken en het verkopen van de werken van huisvlijt. Meningkatkan derajat wanita Minangkabau dengan jalan memberi pelajaran menulis, membaca, berhitung urusan rumah tangga, etiket, kerajinan tangan dan menjualkan hasil kerajinan tangan itu. Foto-foto koleksi KITLV tahun 1915 ini mungkin bisa mewakili kegiatan ibu-ibu yang setia itu.

Pada tahun 1915 Keradjinan Amai Setia mendapat pengakuan Rechtperson atau Badan Hukum dengan surat Putusan No. 31 tanggal 16 Januari 1915 dan pada waktu itu hampir seluruh penduduk wanita Koto Gadang menjadi anggotanya. Selanjutnya mulailah dibangun sekolah diatas sebidang tanah yang telah dibeli tahun 1916 dan dapat diselesaikan dan dipergunakan pada tgl 23 Februari 1919.

Tidak cukup hanya dengan itu, keinginan untuk berbagi cerita tentang perjuangan memajukan pendidikan kaum perempuan di kampungnya serta  ditunjang kebiasaannya menulis, Roehana Kudus selanjutnya menerbitkan surat kabar perempuan yang diberi nama Sunting Melayu pada tanggal 10 Juli 1912. Sunting Melayu merupakan surat kabar perempuan pertama di Hindia Belanda yang pemimpin redaksi, redaktur dan penulisnya adalah perempuan. Uniknya, surat kabar tersebut diterbitkan di Padang, sementara Roehana sendiri berdiam di Koto Gadang. Betapa sulitnya, mengingat segala hal yang serba terbatas waktu itu.

Sementara di Bukittinggi Roehana mendirikan sekolah Roehana School yang dilengkapi ruang pamer untuk hasil karya murid-muridnya. Reputasinya di Sunting Melayu ikut mendongkrak reputasi sekolah tersebut. Selanjutnya ia juga turut serta dalam pergerakan politik kebangsaan baik secara langsung maupun melalui tulisan-tulisannya yang membakar semangat.

Dalam selang beberapa tahun ke depan beberapa surat kabar juga sempat dibidaninya, antara lain Perempuan Bergerak dan Cahaya Sumatra. Demikianlah ia terus bergerak hingga akhir usianya pada 17 Agustus 1972 di Jakarta.

Ia menerima penghargaan sebagai Wartawati Pertama Indonesia pada 1974. Pada Hari Pers Nasional ke-3, 9 Februari 1987, Menteri Penerangan Harmoko menganugerahinya gelar sebagai Perintis Pers Indonesia dan pada tahun 2008 Pemerintah Republik Indonesia menganugerahkan Bintang Jasa Utama.

Begitulah kisah hidup pejuang emansipasi dari Ranah Minang. Setiap gerak langkahnya selalu tidak pernah  melepaskan diri dari identitas dan harkat ke-perempuan-annya. Ia yang telah berbuat nyata, namun tidak sepopuler Kartini.

(Sumber : Wikipedia, kotogadangpusako.com; KITLV)

Kamis, 11 April 2013

W.H. De Greve, The Explorer (1840 - 1872)

Pembangunan infrastruktur yang pesat  di Ranah Minang pada akhir abad ke-19 tidak bisa dipisahkan dari eksploitasi besar-besaran terhadap deposit batubara yang terdapat di Sawahlunto dan Ombilin. Sebutlah: Jalan, Jembatan, Jaringan Jalan Kereta Api, Pelabuhan, dan Gedung-gedung Perkantoran, hampir semua ada kaitannya dengan batubara. Bahkan untuk luar Jawa, Sumatra Westkust adalah juara-nya infratruktur pada saat itu.

Semua itu tentu karena cadangan batubara yang ada di Sawahlunto dianggap sangat besar sehingga pemerintah kolonial Belanda tidak segan-segan untuk menanam investasi secara besar-besaran dalam bentuk infrastruktur. Tapi siapa sebenarnya manusia di balik semua itu, yang bisa meyakinkan gubernemen di Batavia bahwa investasi itu adalah layak?

Adalah seorang insinyur pertambangan berusia 27 tahun yang memulai semua "kehebohan" itu. Namanya Willem Hendrik de Greve. Lahir di Franeker, Belanda pada 15 April 1840. Mendapat gelar mijn ingenieur dari Akademi Teknik Delft. Di-SK-kan untuk meneliti kandungan batubara Ombilin pada tahun 1867, meneruskan penelitian seniornya Ir. C. de Groot pada 1858. Sebelumnya pernah bertugas di Buitenzorg (Bogor) dan meneliti kandungan timah di pulau Bangka.

Tiga tahun setelah kedatangannya ke Ombilin, pada 1870, ia memberikan laporan lengkap ke Batavia tentang perkiraan kandungan batubara sebanyak 200 juta ton. Ternyata de Greve adalah seorang pemikir yang komprehensif. Ia tidak hanya meneliti tentang kandungan batubara-nya saja tapi ia pun juga telah membuat rencana sistem transportasi yang cocok untuk pengangkutannya. Laporan inilah yang menjadi awal segalanya. Pada 1871, laporan ini ia publikasikan dengan judul Het Ombilien-kolenveld in de Padangsche Bovenlanden en het Transportstelsel op Sumatra’s Weskust (Tambang Batubara Ombilin di Dataran Tinggi Padang dan Sistem Transportasi di Sumatra Barat). Negeri Belanda pun buncah.

Setelah publikasinya yang mengegerkan itu, de Greve tetap melanjutkan penelitiannya di tengah kesunyian belantara jantung Sumatra. Namun seperti kata pepatah mujua sapanjang hari malang sakijok mato, dalam petualangannya kali ini de Greve mengalami kecelakaan. Konon, perahu yang ditumpanginya terbalik di batang Kuantan pada 22 Oktober 1872. Ia tewas dalam kejadian itu.

Jenazahnya kemudian dikuburkan di Durian Gadang Silokek di Sijunjung. Foto bertanggal sama dengan tanggal kematiannya di atas memperlihatkan situasi makamnya pada saat itu. Pada sebuah tanah yang cukup lapang, dinaungi pohon-pohon besar, diantaranya terlihat pohon kelapa, jenazahnya disemayamkan. Makamnya dibuat beratap pelepah daun, mungkin kelapa atau rumbia. Berpagar dahan dan ranting kayu. Tentunya agar makam tersebut tidak digali oleh binatang buas, sesuai dengan kondisi pada saat itu. Sungguh sangat sederhana jika dibandingkan dengan kekayaan yang kelak dihasilkan oleh penelitiannya.

Dibelakang hari, kuburan itu diberi batu nisan seperti nampak pada foto di sebelah. Di atas batu pualam itu terpahat tulisan  Hier rust de mijn ingenieur W.H. de Greve den 22″ October 1872 door een ongelukkig toeval alhier omgekomen R.I.P. yang kurang lebih berarti: Di sini beristirahat dengan tenang insinyur pertambangan W.H. de Greve yang pada 22 Oktober 1872 meninggal di tempat ini karena kecelakaan.

Ironis, karena ia tidak sempat menyaksikan dampak dari hasil jerih payahnya. Pada 1891 tambang mulai dibuka. Tahun 1887-1894 jalur kereta api Padang-Sawahlunto dikerjakan. Tahun 1888-1893 pelabuhan Emmahaven diselesaikan.

Namun ternyata ia tidak dilupakan begitu saja. Sebuah taman di kota Padang dinamai Greveplein (Taman Greve), lengkap dengan sebuah monumen yang diberi nama Monumen De Greve. (lihat disini) Selain itu, dermaga di tepian Batang Arau, tak jauh dari Greveplein,  juga dinamakan De Grevekade (Dermaga De Greve).

Tapi tu dulu. Kini adakah para juragan baro masih kenal dengan nama itu? I doubt it......

(Sumber : teraszaman.blogspot.com; wikipedia; niadilova.blogdetik.com; KITLV)

Minggu, 07 April 2013

Tambang Emas Salido (1669 - 1928)


Saat ini sedang heboh-hebohnya soal illegal mining emas di Solok Selatan, yang konon menghasilkan 60 kg emas perhari (!). Dikabarkan bahwa ada  sekitar 300 eksavator yang mengeruk sepanjang Sungai Batang Hari yang melalui kabupaten tersebut. Konon lagi, penggantian Kapolda Sumbar beberapa waktu lalu juga terkait dengan soal emas ini. Tapi bagi ambo agak lucu juga kalau eksavator yang berjumlah ratusan itu disebut illegal. Karena yang illegal itu biasanya kan sembunyi-sembunyi. Nah, sekarang bagaimana caranya eksavator bekerja secara sembunyi-sembunyi? Mau datang lewat mana dia? Diantar pakai helikopter? BBM-nya beli dimana? Naik helikopter juga? welehweleh...

Ya, kita hentikan saja pembicaraan soal Solok Selatan. Pihak yang berwenang sedang mengurusnya.  Yang jelas kasus ini mengingatkan ambo kepada tambang emas yang konon tertua di Indonesia, yaitu tambang emas Salido di dekat Painan.

Sebenarnya kemasyhuran pulau Sumatera sebagai Swarna Dwipa atau Pulau Emas sudah lama terdengar oleh bangsa Eropa melalui cerita-cerita para pelaut dari Timur. Konon para raja yang berkuasa di Swarna Dwipa menggunakan emas selain untuk alat tukar juga untuk menghias istana. Bahkan untuk melempari ikan di kolam di kerajaan Dharmasraya sang raja menggunakan batangan-batangan emas. Begitulah saking kayanya dengan emas. Sementara daerah yang dianggap sebagai biang emas adalah daerah di sepanjang aliran sungai ke Samudra  Hindia yang berhulu di Bukit Barisan.

Salah satu negeri yang tercatat dalam catatan bangsa Eropa memiliki tambang emas itu adalah Salido.  Dalam catatan kolonial disebut Salida. Berasal dari bahasa Portugis yang berarti Jalan Keluar. Memang Salida adalah pintu gerbang (atau jalan keluar) bagi bangsa Eropa untuk keluar dan masuk ke pulau Sumatera dari  Loji/Benteng mereka yang berlokasi di Pulau Cingkuak. Pulau Cingkuak sendiri posisinya tepat berada di depan Salido. Nama Salida mulai populer ketika VOC mendapat konsesi untuk berdagang di pantai barat Sumatera melalui Perjanjian Painan pada Mei 1662.

Tambang emas Salido sebenarnya sudah ditambang secara tradisional oleh masyarakat. VOC baru mengeksplorasinya pada tahun 1669 dengan mendatangkan 2 ahli pertambangan yaitu Nicolaas Frederich Fisher dan Johan de Graf. Hasil penelitian keduanya melaporkan bahwa tambang itu layak untuk dieksploitasi. Karena itu didatangkanlah budak-budak dari Madagaskar serta tawanan perang untuk dipekerjakan sebagai buruh tambang disana.

Pada bulan Juli tahun 1679 sampailah di Salido seorang insinyur baru yang bernama Johann Wilhelm Vogel asal Jerman. Rupanya ia seorang yang rajin mencatat. Beberapa tahun kemudian ia membuat buku tentang pengalamannya bekerja di tambang Salido. Sketsa dibawah dibuat berdasarkan catatannya pada tahun 1685.(click untuk memperbesar)


Dari sketsa terlihat bahwa tambang emas Salido berbeda dengan tambang emas illegal mining-nya Solok Selatan. Kalau di Solok Selatan emasnya berada di dalam batang air sehingga perlu dikeruk dengan eksavator, maka di Salido emasnya berada di perut bukit. Sehingga perlu dibuat lubang seperti tikus untuk menambangnya. Ke dalam lubang tikus itulah para pekerja bekerja. Bisa dibayangkan menyuruk ke dalam tanah dengan teknologi abad ke-17, tentulah sangat beresiko tinggi. Tak ayal tingkat kematian buruh tambang disini juga tergolong tinggi.

Barak pekerja terlihat berada di pintu masuk lubang tambang, baik di kaki bukit maupun di atas bukit. Yang di atas bukit dihiasi dengan bendera triwarna. Sedangkan di pinggang bukit terdapat sebuah bangunan yang ditulis sebagai "Laboratorium". Tidak dijelaskan apa kegunaan laboratorium itu.

Tambang ini sempat buka-tutup beberapa kali karena merugi. Manajemennya pun bergantiganti. Namun menurut studi yang dilakukan oleh R.J. Verbeek yang pernah menulis beberapa buku tentang Tambang Salido, antara 1669-1735 sudah 800 ton bijih emas yang dihasilkan Tambang Salido, dengan nilai f 1 200 000 atau rata-rata f 1 500 per ton.

Akhirnya pada tahun 1928, tambang ini resmi ditutup (kembali) karena bangkrut. Meskipun di dalam perut bukitnya masih terkandung emas. Namun biaya eksploitasinya tidak sebanding dengan hasilnya. Sisa-sisa emas inilah yang ditambang oleh masyarakat sampai sekarang. Tapi hasilnya sungguh berbeda jauh dengan yang di Solok Selatan...

Sebagai kenang-kenangan, dua orang "Toean" berpose di depan lubang tambang Salido yang diberi nama lubang Prinse (Pangeran) pada 14 Agustus 1914. Kalau di dalam sketsa-nya Vogel diatas, lubang ini adalah lubang yang berada di kaki bukit. Saat foto ini diambil, manajemen tambang sedang giat-giatnya melakukan upaya penyelamatan tambang dari kebangkrutan. Walaupun akhirnya gagal juga.

Dengan teknologi modern sekarang, mungkinkan Swarna Dwipa dihidupkan kembali?



(Sumber: http://niadilova.blogdetik.com; adlenaline.wordpress.com; kitlv)

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...