Jumat, 25 Januari 2013

Gunung Padang dan Taplau (1891)


Tergelitik oleh pertanyaan salah seorang pembaca blog ini beberapa waktu yang lalu tentang apakah Gunuang Padang dulunya segaris dengan pantai Padang, ambo mencoba browsing-browsing untuk mencari jawaban. Jawabannya: Tidak. Setidaknya sampai pada saat foto diatas diambil, tahun 1891. Entahlah kalau ribuan tahun yang lalu. Dalam foto diatas, Gunuang Padang masih mengambil posisi di depan dibandingkan garis pantai alias Taplau. Tapi Lauik - sebutan gaol anak muda Padang untuk menyebut pantai.

Namun demikian, perbedaan yang terlihat dengan kondisi sekarang adalah kelandaian garis pantai.  Melihat pantai Padang tahun 1891 ini, terbayang-bayang pantai di Bali yang nyaman untuk tidur-tiduran dan main pasir. Kondisi itu tidak ditemukan lagi sekarang. Pantainya curam, pasirnya sedikit dan berbahaya akibat abrasi. Malah di sepanjang pantai sekarang dipasang tumpukan batu-batu gunung sebesar truk untuk pemecah hempasan gelombang Samudera Indonesia yang memang terkenal ganas. Sejajar dan tegak lurus garis pantai. Jadi jauuuuuh lah bentuk pantai sekarang dari foto diatas.

Dalam browsing-browsing ambo, ada sebuah foto lain yang menarik. Ini dia.


Foto ini dikodak oleh Jean Demmeni tahin 1910. Apa menariknya? Ternyata pantai Padang yang di dekat muara sungai Batang Arau sudah di buat dinding pemecah gelombang dari beton oleh Ulando. Rapi seperti di lokasi Banda Bakali atau Banjir Kanal sekarang. Terlihat nyaman untuk tempat bersantai. Kalau di zoom akan terlihat beberapa orang sedang duduk-duduk menghadap ke laut. Mungkin menikmati sunset :). Ternyata jaman itu pun sudah disadari bahwa garis pantai bisa habis dimakan gelombang. Makanya dibuat dinding beton.

Dinding ini sudah tidak ada sekarang. Bahkan cerita tentangnya tidak pernah terdengar. Setidaknya oleh ambo. Sebab itu foto ini jadi menarik. Mungkin dinding ini sudah terkubur di dasar samudera akibat hantaman ombak. Atau gempa gadang? Entah.

Di bagian kanan foto, di kaki Gunuang Padang terdapat warna keputihan. Kalau di zoom dari sumber aslinya akan kelihatan bahwa itu adalah sebuah bangunan bergaya kolonial dengan tangga yang diberi atap dari arah laut. Artinya disana ada dermaga kecil untuk aktivitas turun naik perahu. Bangunan apa dan milik siapa ambo belum menemukan informasinya. Tapi bagi yang suka memancing dengan perahu atau naik kapal kayu ke Mentawai dari dermaga Muaro akan melihat reruntuhan bangunan ini yang sudah tenggelam dalam semak belukar. Tangganya sudah tidak ada. Hanya sisa-sisa bangunannya. 

Mungkin ada pembaca yang tertarik mengunjunginya?

Sumber : geheugenvannederland.nl; kitlv.nl

Senin, 21 Januari 2013

Truk Jadul (1930)


Kalau sekarang angkutan barang menggunakan truk, maka jaman lamo menggunakan moda transportasi darat ini : Kabau Padati. Artinya pedati yang ditarik dengan kerbau.

Foto koleksi KITLV tahun 1930 diatas memberi gambaran tentang truk jadul itu. Terlihat iring-iringan pedati sedang berhenti. Mungkin sedang mengaso untuk mengambil napas. Karena sepertinya jalan yang sedang dilewati menanjak. Para "sopir" pedati alias kusir juga mengaso. Mungkin sambil menggulung rokok daun nipah. Ada yang berdiri dan ada juga yang duduk di pinggir jalan.

Lihatlah pedatinya. Atapnya tidak melupakan arsitektur khas minangkabau. Bagonjong. Bahan penutupnya ijuk. Roda pedatinya jauh lebih besar daripada roda bendi. Hampir setinggi sang kusir yang sedang berdiri. Mungkin diameter roda berpengaruh terhadapkapasitas muatan atau meringankan daya tarik sang kerbau atau bagaimana, perlu masukan dari ahli fisika disini. Yang jelas ukuran roda ini pastilah sudah merupakan kesimpulan dari pengalaman empiris dari para pembuat pedati masa itu.

Kaki kerbau penarik pedati kelihatan lebih besar dari kaki kerbau biasa. Apakah mereka spesies tertentu? Oho, tidak. Mereka sama dengan saudara-saudaranya yang lain. Tapi mereka mendapat "kehormatan" untuk memakai sepatu. Namanya Sipatu Kabau alias Sepatu Kerbau. Nama yang jujur...:). Bahannya biasanya yang empuk seperti karet bekas dengan pengikat yang dililitkan ke sekeliling kaki. Makanya si kaki kelihatan lebih besar. Gunanya pasti untuk membuat kaki kerbau merasa nyaman dalam perjalanan. Maklumlah kondisi jalan pada waktu itu penuh dengan onak dan duri...(ala sastrawan..).

Bercerita tentang sipatu kabau ini, ibu saya almarhumah dulu  tertawa terkekeh-kekeh melihat saya pertama kali pulang dengan memakai sendal gunung. Padahal sepatu model begitu lagi tren di kalangan mahasiswa waktu itu. Saya jadi bingung. Lalu beliau berkomentar sambil terus tergelak,"Jaman dulu hanya kabau yang pakai sepatu model kayak gini..." Walah. Rupanya alas karet dengan tali-tali menyilang itu mengingatkan ibu saya dengan sipatu kabau...! No offense untuk pembuat sandal gunung :) Piss.

Kembali ke pedati. Waktu saya kecil tahun 80an awal, masih bertemu dengan iring-iringan pedati seperti di foto. Dari kejauhan kita sudah bisa mendengar bunyi ganto (genta) yang dikalungkan di leher kerbau. Terbuat dari kuningan, ganto berdentang-dentang seiring langkah sang kerbau. Tapi lama-kelamaan dengan kehadiran truk, jasa pedati terpinggirkan. Tentu karena faktor kecepatan dan kapasitas angkut yang tidak sepadan.

Pedati kalau berjalan memang selalu beriringan begitu. Istilah sekarangnya konvoi. Dulunya tentu demi keamanan di dalam perjalanan. Sebab mengangkut barang jaman itu, apalagi di malam hari,  rawan terhadap perampokan di jalan. Karena itu biasanya kusir pedati juga memiliki kemampuan beladiri. Atau paling tidak di dalam konvoi tersebut ada yang ahli beladiri. Sehingga jika terjadi pembegalan, mereka tidak mati konyol.

Uniknya, tidak seperti truk, kabau padati tetap berjalan meskipun sang kusir tertidur dimalam hari. Terutama pada waktu pulang. Sepertinya si kerbau sudah punya koordinat rumah di kepalanya sehingga tidak perlu diarahkan lagi. Jadi di tengah malam yang sunyi hanya terdengar derap langkah kerbau, derak roda pedati, bunyi ganto dan karuah (dengkur) si kusir....

Rabu, 16 Januari 2013

Sembat Sungai Tanang (1915)


Sungai Tanang. Mungkin sebagian dari kita mengenalnya dari suara Cik Uniang Elly Kasim. Babendi-bendi ka Sungai Tanang....aduhai sayang....singgahlah mamatiak bungo lambayuang....Tapi dimanakah tepatnya nagari yang dijadikan lagu itu?

Clue-nya ada di lagu ini : Janiah aianyo Sungai Tanang, minuman urang Bukiktinggi....Nah, ketahuan. Kalau airnya diminum orang Bukittinggi, artinya Sungai Tanang ada di Bukittinggi atau dekat-dekat situlah.

Seratus! Sungai Tanang berada di hinterland Bukittinggi, tepatnya di kecamatan (dahulu Kelarasan)  Banuhampu, Agam. Kalau kita dari arah Padang menuju Bukittinggi, sampai di Simpang Padang Luar kita berbelok ke kiri -arah Maninjau- kira-kira 1 km. Sampailah sudah di nagari Sungai Tanang. Tepat di kaki Gunung Singgalang.

Untuk mengetahui betapa tanang dan janiah-nya air di Sungai Tanang, lihatlah foto koleksi KITLV bertahun 1915 diatas. Pepohonan sampai membayang di permukaan air yang tenang dan tidak beriak. Terbayang betapa beningnya. Dan sejuknya (baca: dingin). Brrrr.....

Perkara kata-kata minuman urang Bukiktinggi, sampai sekarang air dari Sungai Tanang memang masih menjadi sumber utama PDAM Kota Bukittinggi. Sejalan dengan pertumbuhan jumlah penduduk di Bukittinggi, maka kebutuhan air bersih makin meningkat. Artinya pasokan air dari Sungai Tanang juga mesti ditingkatkan. Maka muncul istilah di masyarakat sekitar Sungai Tanang bahwa lah kariang banda sajak aia dibaok ka Bukiktinggi. Perkara kebenarannya tidak pernah ada penjelasan resmi dari pihak yang berkompeten tentang hal ini.

Oke. Itu soal Sungai Tanang. Terus di judul ada kata Sembat. Apa itu? Sembat adalah ucapan orang-orang dulu untuk menyebut bahasa Belanda zweembad. Artinya kolam renang. Bahasa lokalnya adalah pemandian.

Foto diatas adalah foto pemandian Sungai Tanang yang sangat terkenal dari jaman Belanda sampai kira-kira awal 80-an. Waktu itu sangatlah ramai pemandian ini, terutama di akhir pekan. Sayang sekarang tidak terdengar kabarnya lagi. Ambo terakhir kesana pada tahun 90-an sudah tidak terawat. Sayang sungguh sayang.....:(

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...