Kamis, 06 September 2012

Pelaminan (1913)


Masih berkaitan dengan posting terdahulu (baca : Baralek), sekarang coba kita intip ke dalam rumah orang baralek. Meskipun bukan berasal dari rangkaian foto yang sama, tapi setidaknya kita bisa mendapat gambaran bagaimana cara orang Minang 100 tahun yang lalu menghias interior rumahnya waktu baralek.

Foto ini berasal dari kota Bukittinggi pada tahun 1913. Memperlihatkan pelaminan penganten. Berbeda dengan sekarang yang memakai kursi, jaman itu pelaminan berupa kasur empuk. Tentunya bukan untuk ditiduri penganten, karena untuk tidur sudah disediakan kamar yang berada tepat di belakang pelaminan ini.

Sekarang kita cermati satu-satu. Diatas pelaminan terdapat 2 buah bantal persegi. Mungkin berfungsi sebagai alas duduk atau bersandar bagi penganten. Di sebelah kanan pelaminan terdapat sebuah ornamen yang dikenal dengan nama Banta Gadang (Bantal Besar). Tidak jelas apakah banta gadang saat itu memang betul-betul dibuat dari bantal yang berukuran gadang atau hanya sekedar nama. Yang jelas pada pelaminan terkini, banta gadang berada di sebelah kanan dan kiri mengapit kursi penganten serta terbuat dari rangka besi yang diselimuti kain bersulam.

Diatas kasur juga tertumpuk 2 baris benda yang sekilas mirip bantal guling kecil. Tapi tidak bulat, melainkan persegi seperti roti. Terus terang ambo tidak bisa mengira-ngira apa itu dan apa kegunaannya.

Beralih kita ke dinding. Sama seperti sekarang, dinding juga dilapis dengan kain bersulam supaya terlihat cantik. Lantai rumah juga dilapis dengan lapiak permadani. Ornamen yang tergantung juga mirip dengan yang ada di pelaminan sekarang, tapi terlihat lebih banyak dan lebih meriah. Satu lagi, lebih rendah. Sehingga ambo bayangkan, jika sang penganten berdiri, maka kepalanya langsung menanduk salah satu ornamen tersebut.

Dibelakang pelaminan, mengintip tempat peraduan sang penganten baru. Terlihat kasur dan 2 buah bantal yang kelihatannya nyaman. Yang patut diperhatikan adalah ukuran pintu kamar yang terlihat kecil dibanding pintu jaman sekarang. Juga ukuran kamarnya yang mini. Begitu masuk kamar langsung sampai di pinggir tempat tidur. Artinya kamar tidur ya untuk tidur. Tidak seperti sekarang. Ada TV, ada lemari besar 3 pintu, ada kamar mandi, washtafel dan lain-lain sehingga kamarnya seluas rumah tipe 54....

(Sumber : Tropen Museum)


Rabu, 05 September 2012

Baralek (1925)


Baralek artinya keramaian. Meskipun dalam pembicaraan sehari-hari kata 'baralek' juga digunakan untuk menunjuk kegiatan keramaian lain, tapi konotasi dominan kata baralek adalah pesta pernikahan. Baralek berarti bersukaria. Baju bagus, kaum keluarga berkumpul, bergembiraria. Haha hihi lah pokoknya.

Seperti di atas, foto orang baralek. Di depan rumah terlihat anak daro dan marapulai serta pengiring penganten. Semua berpakaian bagus. Sebagian tersenyum lebar. Sepertinya cuma anak daro yang berwajah tegang. Mungkin stres memikirkan hari depan. Maklumlah, seperti kecenderungan pada jaman itu, tidak ada istilah pacaran. Pernikahan umumnya adalah karena perjodohan. Jadi maklum saja jika pengantennya agak tegang karena belum kenal betul sama calon suami atau istrinya. Kalau dapat pasangan yang baik alhamdulillah. Tapi kalau tidak? Bisa marasai awak.

Melihat dari model rumahnya, foto bertahun 1925 ini mungkin berasal dari daerah pesisir. Sebab biasanya di daerah Darek, rumah pada saat itu masih berupa rumah gadang. Penampakan rumah di foto ini tidak seperti itu.

Keluarga ini kelihatannya cukup berada. Terlihat dari pakaian mereka yang rapi dan bagus. Apalagi kalau melihat 2 anak perempuan yang berada di latar depan. Seperti anak belanda saja tampaknya. Berbaju putih selutut. Malah yang seorang berkaus kaki dan bersepatu.

Coba perhatikan penganten laki-laki. Bercelana tanggung dan memakai kaos kaki putih panjang seperti pemain bola. Ini tentu diilhami pakaian Eropa pada abad lalu, seperti di film Pirates of The Caribbean. Cuma tidak begitu jelas apakah sepatu yang digunakan memakai hiasan seperti pita, seperti di Eropa.

Pembaca ada yang tahu ini pakaian dari daerah mana?

(Sumber : Tropen Museum)

Selasa, 04 September 2012

Kecelakaan Mobil di Muaro Labuah (1929)



Sejalan dengan pesatnya pertumbuhan jalan di Ranah Minang pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20 (baca: Perjalanan Berliku Jalan Berkelok), maka kendaraan roda 2 dan roda 4 mulai berseliweran ke seluruh pelosok nagari. Arus barang dan orang semakin lancar. 

Namun demikian, karena teknologi yang masih dominan dengan konstruksi kayu, cuaca tropis yang lembab menyebabkan kayu cepat menjadi lapuk. Akibatnya ya kejeblos.

Ini contohnya. Terjadi pada tanggal 1 Oktober 1929, sebuah mobil tagurajai karena melewati jembatan lapuk di Muaro Labuah, Solok Selatan. Roda depannya masih nyangkut diatas jembatan sementara bagian belakangnya sudah terduduk di dalam sungai. Tepatnya Sungai Rambutan, sebagaimana tertulis dengan tulisan tangan di pojok kiri bawah foto.

Di atas jembatan, berdiri 3 orang. 2 diantaranya berpakaian seragam. Itu pastilah polisi yang mengamankan lokasi tersebut dan datang dengan sebuah motorpit gandeng persis film Nazi Jerman dalam Perang Dunia II. Motorpit-nya parkir dekat orang ketiga yang berbaju putih dan berkopiah. Mungkin penduduk lokal atau pemuka masyarakat.

Mobil ini sepertinya mobil penumpang. Karoseri atau rumah-rumah-nya terbuat dari kayu. Kalau di zoom di dindingnya terbaca "SINARLAJANG P.ARO L.B.G.D". Karena belum ada EYD saat itu, maka tulisan dan singkatan yang ditulis di dinding itu tidak konsisten dalam penempatan tanda baca, khususnya spasi dan titik. Kalau dibaca sekarang tentu menjadi "Sinar Layang P. Aro Lb. Gd". Maksudnya Padang Aro Lubuak Gadang, nama daerah di Solok Selatan. Sinar Layang mungkin nama perusahaan oto-nya.

Selanjutnya di bawah tulisan itu tertulis "CYLINDER". Entah apa maksudnya ini. Merk mobil atau apa. Sementara di pintunya tertera "18 PERS EGW 1427 KG". Kita bisa mengira-ngira maksudnya mungkin berat kendaraan itu adalah 1427 Kg. Tapi apa iya seperti itu. Mungkin ada pembaca yang bisa memberi pencerahan :).

Disebelahnya ada lambang bulan bintang. Apakah ini bisa diartikan bahwa mobil ini milik orang Minang yang notabene beragama Islam? Bisa jadi. Apalagi kalau melihat namanya yang melayu banget. Sinar Layang.

Yang unik adalah apa yang tertulis di kaca depan. Dibagian kiri dan kanan atas kaca depan tertulis "HUUR AUTO". Artinya adalah "mobil". Kenapa sudah jelas mobil masih ditulis lagi "mobil" di kaca depannya? Mungkin saat itu belum banyak yang tahu nama makhluk beroda ini adalah "mobil"...

Sumber :KITLV

Kamis, 05 Juli 2012

Perjalanan Berliku Jalan Berkelok (1833)

Pengantar : Posting kali ini dikutip dari tulisan sejarawan Universitas Andalas, Prof. Gusti Asnan yang dimuat di jurnal KITLV. Selanjutnya saya lengkapi dengan foto-foto dari koleksi KITLV juga. Terimakasih buat pembaca setia blog ini, Bung Chan, yang telah memberikan link jurnal ini kepada saya. Bagi pembaca yang ingin membaca tulisannya secara lengkap, silakan meluncur ke
http://www.kitlv-journals.nl/index.php/btlv/article/viewFile/1745/2506.


Johannes van den Bosch
Pernahkah terpikir oleh dunsanak, bahwa manusia yang (mungkin) paling menyengsarakan bangsa Indonesia adalah juga sekaligus orang yang berjasa memprakarsai pembangunan jalan di Ranah Minang? Namanya Johannes van den Bosch, Gubernur Jenderal yang berkuasa di Batavia tahun 1830-1834. Orang se-Hindia Belanda mengenalnya sebagai tokoh dibalik kebijakan Tanam Paksa. Ironis? Begini ceritanya.

***

Sampai pertengahan abad kesembilan belas, hubungan antara daerah pantai dengan pedalaman Minangkabau diadakan masih melalui jalan setapak. Setidaknya ada lima kelompok jalan setapak pada saat itu.


Kelompok pertama ada dua jalur di Pasaman  yaitu menghubungkan antara Air Bangis- Rao  serta menghubungkan Sasak-Lundar-Bonjol. Kelompok kedua ada di Agam yaitu dari Tiku, menyusur sepanjang tepi kanan Sungai Antokan dan sisi utara Danau Maninjau, ke Bukittinggi. Kelompok ketiga menghubungkan kota-kota pesisir Pariaman, Ulakan, Koto Tangah, dan Padang melalui Kayu Tanam, terus ke Lembah Anai dan Padang Panjang. Dari Padang Panjang jalan bercabang lagi ke arah Bukittinggi dan Tanah Datar. Kelompok keempat adalah kelompok Tanah Datar, menghubungkan kota-kota pesisir seperti Koto Tangah dan Padang ke Tanah Datar, melalui kota-kota sekitar Danau Singkarak. Kelompok kelima adalah kelompok Solok, terdiri dari dua jalan setapak. Yang pertama menghubungkan Padang dan wilayah XIII Koto Solok. Yang kedua menghubungkan Bandar X dan Solok Selatan.

Jalan-jalan setapak ini tercipta umumnya karena kebutuhan masyarakat pedalaman Minangkabau akan garam. 

Selanjutnya jalan setapak ini berkembang menjadi jalan dagang sekitar abad ke-15. Berbagai barang dibawa turun melalui jalan perdagangan. Emas adalah salah satu produk pertama dan paling penting dibawa di hampir semua jalan setapak.  Juga beberapa komoditas lainnya seperti kayu obat, kapur barus, resin, lilin, madu, dan produk non-kayu hutan lainnya. Dari pantai dibawa kain, katun, sutra, kering, ikan asin, dan tentu saja, garam.

Jalan-jalan setapak ini hanya bisa dilintasi orang dan kuda beban. Perjalanan biasanya hanya dilakukan pada siang hari secara berkelompok dengan didampingi oleh seorang atau lebih ahli bela diri, untuk menghindari perampokan. (Jadi ingat cerita Giring-giring Perak-nya Makmur Hendrik...). Mereka bisa berjalan sekitar tiga puluh kilometer sehari, dengan waktu tempuh rata-rata untuk perjalanan dari pedalaman ke pantai pulang pergi selama enam sampai sepuluh hari.

Jalan Air Bangis (1890)
Di nagari-nagari sepanjang jalan biasanya dikenakan uang jalan oleh penghulu setempat  yang jumlah dan bentuknya bervariasi. Letnan Jenderal Thomas Stamford Raffles, misalnya, mencatat harus membayar “tol” 26 kali dalam perjalanan ke pedalaman Minangkabau pada 1818. Dalam kesempatan lain seorang wakil dari Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) di Padang dalam perjalanan dari Air Bangis ke pedalaman diminta untuk membayar dalam bentuk kain. Penghulu nagari menjelaskan bahwa  kain itu dibutuhkan untuk sekelompok penduduk yang telah kehilangan semua harta mereka dalam kebakaran.

Jalan dekat Pangkalan Koto Baru (1903)
Selain dari jalan setapak antara daerah pegunungan dan pantai barat, ada juga beberapa jalan setapak diantara pedalaman dan bagian timur Sumatera. Tapi, berbeda dengan ke arah barat, jalan setapak yang pergi ke timur tidak mencapai pantai. Hanya sampai ke tempat-tempat yang dikenal sebagai pangkalan, panambatan, dan pamuatan. Artinya tempat-tempat ini adalah hulu sungai tempat perahu  berhenti dan diikat, barang dagangan dimuat dan diturunkan.

Pangkalan, panambatan, dan pamuatan semuanya terletak di tepi sungai dari ujung hulu sungai yang bermuara di pantai timur Sumatra. Beberapa jalan setapak yang terkenal adalah jalan dari Rao ke Pamuatan Rambah (di Sungai Rokan), jalan dari Payakumbuh ke Pangkalan Koto Baru (di Sungai Kampar Kanan), dan jalan dari Tanah Datar dan Sijunjung ke Pangkalan Kureh (di Sungai Kuantan).

Pada saat Perang Padri, jalan setapak dianggap tidak memadai oleh kolonial Belanda untuk mobilitas tentara. Peningkatan jalan setapak menjadi jalan terjadi setelah Gubernur Jenderal Johannes van den Bosch berkunjung ke Sumatra’s Westkust pada 1833.

Jalan di Lembah Anai (1880)
Sebagai salah satu sarana penting dalam mewujudkan keinginannya, ia memerintahkan pemerintah kolonial setempat untuk membangun jalan yang menghubungkan pelabuhan utama, Padang, dengan daerah pedalaman. Dengan demikian, jalan pertama dibangun di Sumatera Barat adalah jalan yang menghubungkan Padang dengan Padang Panjang, melalui Lembah Anai. Jalan ini dibangun di atas Jalan Dagang yang telah ada. Konstruksi dimulai pada 1833 dan selesai pada 1841.

Jalan Lubuk Sikaping - Bonjol (1890)
Pada periode yang sama, pemerintah kolonial juga membangun sebuah jalan antara Padang Panjang dan Bonjol, pusat perlawanan Padri, melalui Padang Luar dan Matua. Di Padang Luar jalan itu bercabang ke Bukittinggi dan Payakumbuh,  dua kota yang memainkan peran penting dalam tahun-tahun terakhir Perang Padri. Bukittinggi (Belanda menyebutnya Fort de Kock) adalah pusat  militer Belanda di pedalaman, sementara Payakumbuh adalah pusat aktivitas ekonomi Belanda. Belanda membuka sebuah cabang maskapai dagang di Payakumbuh serta membangun jaringan benteng untuk membatasi perdagangan dari pantai timur yang dianggap mengganggu perdagangan Belanda di pantai barat.

Jalan di Maninjau (1867)
Pada pertengahan tahun 1830-an, dibangun jalan dari bagian utara kota Padang sepanjang pantai ke Pariaman, Tiku, dan kemudian Maninjau dan Matua. Di Matua, jalan pesisir bergabung dengan jalan dari Padang Panjang ke Bonjol. Semua jalan ini dapat digunakan oleh pedati (kerbau yang ditarik gerobak). Tujuan utama dari jaringan jalan ini sendiri adalah untuk memfasilitasi logistik dari Belanda dalam pengepungan Bonjol, pusat dari perlawanan Padri.

Pada akhir 1840-an, pemerintah kolonial memberikan perhatian serius terhadap perbaikan jalan, baik secara kualitas maupun kuantitas. Yang paling mendapat perhatian adalah jalan dari Padang ke Padang Panjang melalui Lembah Anai. Pemerintah kolonial menyiapkan beberapa fasilitas untuk memudahkan pengguna jalan, yaitu rumah istirahat, tempat di mana orang bisa beristirahat dan mendapatkan kuda segar.  Pos penjagaan militer juga dibangun untuk keamanan pengguna jalan.

Jalan Pariaman - Padang Panjang (1880)
Sepuluh tahun setelah proyek untuk memperbaiki jalan diluncurkan, ada  4 rumah dan pos penjagaan militer antara Padang dan Padang Panjang. Peningkatan yang sama jalan dilakukan di jalan-jalan dari Padang Panjang ke Bukittinggi dan Payakumbuh, dan dari Padang Panjang ke Batu Sangkar. Pada pertengahan 1860-an, jumlah rumah istirahat dan pos-pos penjagaan militer di Sumatera Barat meningkat menjadi 12.

Peningkatan fasilitas di sepanjang jalan itu terkait erat dengan status jalan utama yang Padang-Padang Panjang-Bukittinggi-Payakumbuh dan Padang Panjang-Batu Sangkar untuk membawa kopi dari pedalaman ke Pariaman dan Padang, pelabuhan di barat.

Jalan di Singkarak (1880)
Setelah 1848, pemerintah melanjutkan untuk membangun beberapa jalan sekunder. Jenis jalan ini terutama digunakan untuk menghubungkan beberapa kota untuk memudahkan proses pengangkutan kopi dari beberapa desa ke gudang kopi pemerintah. Contohnya adalah rute Solok-Alahan Panjang, Solok-Batipuh, Solok-Sijunjung, Sijunjung-Batu Sangkar dan Buo, dan Air Bangis-Lundar. Semua jalan ini diselesaikan pada 1860-an awal. Para pekerja yang terlibat untuk membangun jalan ini terdiri dari kuli bebas dan penduduk lokal yang melakukan kerja paksa.

Konstruksi jalan mencapai puncaknya pada akhir abad kesembilan belas. Pembukaan perkebunan besar beberapa dari pada 1870-an mendukung perluasan pembangunan jalan. Cabang jalan dari jalan sekunder di Solok, Tanah Datar, Lima Puluh Kota, dan Pasaman dibangun ketika perkebunan besar dibuka di daerah-daerah.
Jalan Batusangka - Ombilin (1915)

Sebagai hasil dari semua kegiatan pembangunan jalan itu, pada tahun 1900 Gouvernement van Sumatera's Westkust merupakan provinsi dengan jarak jalan terpanjang dan jumlah jembatan terbesar  di luar Jawa.

Jalan kelas I (standar tertinggi) membentang sekitar 153 km, sementara ada sekitar 651 km Jalan kelas II, dan sekitar 2,525 km jalan  kelas III.  Ada 6 jembatan lengkung (Boogbruggen) dengan panjang lebih dari sepuluh meter, dan 115 jembatan lengkung dengan panjang kurang dari sepuluh meter. Disamping itu terdapat  1.783 jembatan dengan kompleksitas teknis menengah {liggers dan vakbruggen), dengan panjang rata-rata 8 meter. Untuk tingkat teknik sederhana, ada 729 jembatan sementara (Noodbruggen) dan 2.092 gorong-gorong (kleine doorlaten).

Jalan Tapan - Sungai Penuh (1918)
Sejak 1900 jalan dari Bukittinggi telah terkoneksi dengan jalan dari Tapanuli dan Medan. Bukittinggi-Pekanbaru dihubungkan oleh jalan pada 1916.  Dan pada 1921, jalan antara Sumatra’s Westkust ke Jambi dan Kerinci dibuka. 

Kamis, 26 April 2012

Hoyak Tabuik ala Bukittinggi (1888)


Jika selama ini kita mengetahui bahwa acara Tabuik hanya ada di Pariaman, ternyata bahwa pada foto bertahun 1888 ini terlihat bahwa acara hoyak hosen ini juga pernah diadakan di Fort de Kock. Tidak ada informasi lanjutan apakah acara tabuik versi Darek ini merupakan acara rutin tahunan seperti di Piaman atau hanya event sekali itu saja.

Acara tabuik sendiri diadakan di Pariaman setiap tanggal 10 Muharram untuk mengenang tewasnya cucu nabi Muhammad s.a.w yakni Hussein -putra Ali bin Abi Thalib r.a dan Fatimah Azzahra- oleh pasukan Yazid bin Muawiyah di Karbala (Irak) pada tahun 61 H. Sebagaimana sejarah mencatat, peperangan tersebut adalah peperangan terkeji dalam sejarah umat Islam.

Dalam prosesinya, tabuik diarak beramai-ramai sambil diangkat ke atas dan ke bawah, seperti gerakan meng-hoyak yang arti harfiahnya adalah menggoyang. Dan karena tabuik merupakan personifikasi Hussein r.a maka prosesi ini sering disebut Hoyak Hussein atau dalam logat minang-nya hoyak hosen tadi.

Saat ini istilah hoyak hosen dalam bahasa minang telah mengalami perluasan makna. Kalau tadinya spesifik pada acara tabuik saja, sekarang apapun yang namanya bergoyang biasa disebut dengan ber-hoyak hosen. Termasuk joget dangdutan yang diiringi orgen tunggal berirama house music. Penyanyinya yang berpakaian seksi dan melonjak-lonjak kesana kemari seperti dipantak salimbado, disebut sedang ber-hoyak hosen. Begitupun penontonnya yang sedang melakoni joget dangdut tripping atau dangdut koplo. Sebuah ironi kalau mengingat darimana istilah itu berasal...

Kembali ke tabuik, selanjutnya ketika magrib menjelang, tabuik dibuang ke laut. Itu kalau di Pariaman. Kalau di Bukittinggi, kira-kira tabuiknya dibuang kemana, ya?

(Sumber : Tropen Museum)

Senin, 27 Februari 2012

Rusli Amran, Penyelamat Sejarah Ranah Minang (1922-1996)


Jika kita membaca sebuah tulisan tentang sejarah Ranah Minang, terutama pada jaman kolonial, maka tidak bisa tidak  tulisan itu kalau dirunut sumbernya hampir pasti akan sampai ke salah satu karya pak Rusli Amran. Tak peduli apakah tulisan itu ditulis oleh seorang profesor ataukah oleh seorang rakyat badarai. Begitu hebatnya pengaruh sosok ini dalam sejarah per-Minang-an.

Namun demikian, tidak banyak yang mengetahui siapa sebenarnya Rusli Amran. Sebagian orang menganggapnya sejarawan, tapi sebenarnya dia bukanlah "orang sejarah".

Berawal dari sebuah buku "ajaib" nan kontroversial terbitan tahun 1963 (sekarang sudah dicetak ulang)  berjudul  “Tuanku Rao: Teror Agama Islam Hambali di Tanah Batak (1816-1833)” karya Mangaradja Onggang Parlindungan yang menulis:

“Brothers from Minang sangat parah handicapped, karena kepertjajaan mereka akan mythos2 tanpa angka2 tahunan. Mythos Iskandar Zulkarnain Dynasty, Mythos Menang Kerbau, Mythos Bundo Kanduang, Tambo Minangkabau, dlsb., semuanya 100% ditelan oleh Brothers from Minang. Tanpa mereka sanggup selecting-out 2% facta2 sejarah dan kicking-out 98% mythologic ornamentations dari mythos2 itu. Tanpa mereka sedikit pun usaha, mentjarikan angka2 tahunan untuk menghentikan big confusions” (679)."

Dengan segala gaya penulisannya yang unik dan sedikit aneh (menurut saya malah itu yang membuat buku ini menarik, terlepas dari kebenaran isinya), harus diakui bahwa yang ditulis M.O. Parlindungan itu mengandung kebenaran. Kekurangan orang Minang yang selama ini tidak berorientasi ke belakang, tidak acuh dengan sejarah lamanya, dan tidak pula memiliki aksara sendiri, telah menyebabkan bukan saja sejarah yang dulu-dulu tertimbun oleh masa, sejarah yang kemarin saja pun sudah kabur. Coba saja, keluarga Minang mana yang punya ranji lengkap sampai ke nama nenek moyangnya? Barangkali cuma sampai kakek atau ayah dari kakek.

Brothers from Minang pun bereaksi atas buku tersebut. Dimulai pada 1970, terbit buku "Sedjarah Minangkabau" yang diusahakan oleh M.D. Mansoer (et al), dalam rangka menyongsong Seminar Sejarah dan Kebudayaan Minangkabau yang diadakan di Batusangkar. Buku ini memuat tanggal-tanggal dan data-data referensi yang otentik, serta mitos dan sejarah politik Sumatera Barat. Uniknya, buku tersebut juga berisi ucapan selamat dari Parlindungan sendiri sebagai kata pengantarnya. Selanjutnya tahun 1974 HAMKA menantang langsung buku Parlindungan dengan menerbitkan buku berjudul "Tuanku Rao: Antara Khayal dan Fakta".

Tapi dari semuanya tak ada yang melebihi sebuah buku karya pertama dari seseorang yang bernama Rusli Amran berjudul "Sumatera Barat hingga Plakat Panjang" yang diterbitkan oleh Sinar Harapan pada tahun 1981.  Buku ini merupakan hasil Rusli Amran menghabiskan banyak waktu antara tahun 1970-1980 untuk menggali data dan nara sumber di Belanda dan Indonesia, dengan memfokuskan perhatian pada laporan dan penelitian yang tersedia pada Jurnal Kolonial Belanda pada abad ke 19. Buku ini merupakan sejarah lengkap termasuk juga laporan arkeologis pada abad ke 13. Rusli Amran menitikberatkan pada interaksi Minangkabau dengan Inggris dan Belanda, sampai pada perang Padri dan Plakat Panjang yang merupakan awal dari pendudukan Belanda di Sumatera Barat. Buku ini ditulis dengan sangat cermat dalam melakukan penelitian akan tetapi dengan gaya penulisannya yang tidak formal. Contohnya bab tentang masuknya bangsa Eropa diberi judul " Masuknya si Bule". Karenanya tidak heran jika buku dengan hampir 700 halaman lengkap dengan referensi sumber, reproduksi dari arsip dan dokumen yang terkait beserta sumber asli ini, di kemudian hari menjadi referensi utama para penulis sejarah Ranah Minang.

Kembali ke pertanyaan awal: Siapa Rusli Amran?

Rusli Amran bukanlah seorang yang berlatar belakang pendidikan sejarah. Ia adalah seorang pensiunan diplomat dan wartawan. Lahir di Padang tahun 1922 dan sempat mengenyam sistem pendidikan Belanda, Jepang dan Indonesia. Setamat AMS Sastra Barat di Jogjakarta sebelum Perang Dunia II, ia melanjutkan ke perguruan tinggi di Jakarta, Amsterdam dan terakhir di Praha.  Selama masa revolusi pemuda Rusli Amran bersama Sidi Muhammad Sjaaf dan Suraedi Tahsin menerbitkan surat kabar Berita Indonesia pada 6 September 1945 dan merupakan koran pertama setelah Indonesia merdeka. Pada awal tahun 1950 ia bergabung dalam birokrasi pemerintah, pertama pada Departemen Pertahanan dan kemudian Departemen Keuangan hingga akhirnya pada Departemen Luar Negeri. Selama puluhan tahun Rusli Amran mewakili Republik Indonesia di Moskow dan Paris. Ketika Rusli Amran pensiun ditahun 1972, ia mendedikasikan dirinya pada proyek sejarah berskala besar yaitu menulis sejarah Sumatera Barat dalam bentuk yang bisa dimengerti dan dijangkau oleh para pelajar Indonesia.

Rusli Amran menghasilkan lima buah buku. Dengan kehadiran buku-buku ini makin tersibaklah awan gelap yang menyelubungi sejarah Sumatera Barat. Dalam kaitan ini, makin terasa betapa upaya yang dilakukan Rusli selama bertahun-tahun, dan dengan semangat akademis yang tinggi, menjalin kembali untaian sejarah yang telah lepas-lepas itu, patut kita hargai. Terlebih lagi, buku-bukunya tidaklah ditulis dengan bahasa yang kering dan membosankan, tapi sebaliknya, bahkan kocak. Memang, sebagaimana dimaksudkan Rusli, seri buku ini tidak dimaksudkan sebagai buku teks dalam artian yang konvensional, tapi sebuah buku sejarah yang ditulis secara populer, dengan gaya bercerita, agar dapat dibaca kalangan luas, terutama oleh generasi muda. Latar belakang Rusli sebagai "orang lama", yang menguasai betul bahasa sumber (bahasa Belanda), sangat membantu. Selain itu, ketajaman pena Rusli, pendiri dan pemimpin harian Berita Indonesia, sebagai wartawan di awal Kemerdekaan, ditambah lagi dengan kejelian matanya sebagai diplomat dalam melihat sesuatu di balik yang tersirat, sehingga ia bukan saja berusaha membeberkan cerita sejarah dengan cara yang hidup dan mengasyikkan, tapi sekaligus juga memberi arti plot-plot sejarah itu secara berkesinambungan. Cara Rusli melihat peristiwa-peristiwa sejarah itu adalah dengan kaca mata bangsa sendiri, walau bahan yang dipakai hampir seluruhnya diramu dari sumber-sumber Belanda.

Buku keduanya adalah "Sumatera Barat Plakat Panjang" adalah buku lanjutan dari buku yang pertama yang disertai juga dengan terjemahan dari sumber-sumber Belanda yang diambil dari jurnal Belanda dan muncul dalam apendik. Kedua buku ini membuat sumber-sumber dalam bahasa Belanda yang secara bahasa dan tempat sulit terjangkau menjadi mudah terjangkau bagi para pelajar Indonesia yang berminat mempelajari Sejarah Sumatera Barat.

Buku ketiga dari Rusli Amran adalah "Sumatera Barat: Pemberontakan Anti Pajak tahun 1908" yang menjelaskan mengenai sistem tanam paksa kopi, eksploitasi kolonial pada abad ke 19 dengan penelaahan mengenai reaksi atas pajak.

Buku ke empat "Padang Riwayatmu Dulu" didedikasikan pada kota kelahirannya Padang yang ditulis masih dengan gaya informal dan berisi campuran antara arsip-arsip dan kejadian-kejadian yang bersifat pribadi pada komunitas Eropa dan Jawa. Rusli Amran juga memasukan koleksi-koleksi foto reproduksi yang mengesankan .

Buku terakhir dari Rusli Amran diterbitkan setelah beliau wafat pada tahun 1996 dalam bentuk kumpulan esai yang berjudul "Cerita Lama dalam Lembaran Sejarah". Kumpulan esai ini merupakan penemuan yang menakjubkan pada tokoh-tokoh dan momen yang tidak biasa di Sumatera Barat yang menyenangkan untuk dibaca santai.

Istri beliau selanjutnya mendirikan Yayasan Rusli Amran di Jakarta sebagai tempat belajar dan pusat dokumentasi koleksi dan arsip beliau.

Namun menurut Jeffrey Hadler, Profesor di Departmen of South and South East Asian Studies University of California Berkeley, yang lebih penting dari tulisan Rusli Amran adalah kebaikan hati beliau selama melakukan penelitian terhadap arsip-arsip tersebut dimana beliau menggandakan setiap artikel dan manuskrip yang ada mengenai Sumatera Barat yang sangat banyak jumlahnya. Rusli Amran menggandakan dokumen-dokumen tersebut dan menyimpannya dalam tiga lokasi yang berbeda di Sumatera Barat yaitu: Perpustakaan Bagian Literatur  Universitas Andalas di Limau Manis, Ruang Baca Gedung Abdullah Kamil di Padang dan Pusat Dokumentasi dan Inventori Budaya Minangkabau di Padang Panjang. Melalui usaha Rusli Amran ini pelajar yang berminat pada sejarah Sumatera Barat dapat menjangkau buku yang menyediakan gambaran yang jelasi dan tanpa pretensi mengenai masa kolonial. Terlebih lagi mereka dapat menjangkau sumber yang asli tanpa harus pergi ke Belanda maupun Jakarta.

Untuk yang terakhir ini iyo ambo terperangah. Ternyata semua dokumen itu ada di Sumatera Barat dalam bentuk fotocopian! Tidak begitu jelas apakah dokumen-dokumen itu sudah dirubah ke format digital apa tidak pada saat ini. Karena secara lazimnya, dokumen fotocopian tidak akan bertahan lama. Kalau belum, sudah saatnya para sejarawan -terutama dari Unand karena punya akses langsung- mengambil tindakan cepat untuk menyelamatkan dokumen-dokumen berharga tersebut dengan cara mendigitalisasinya.

Selanjutnya kita berharap ada penerbit yang bersedia menerbitkan kembali buku-buku karya Rusli Amran ini. Membaca buku-buku Rusli Amran dapat menimbulkan kebanggaan tersendiri terhadap identitas ke-Minang-an kita. Anda penerbit, tidak usah takut bukunya ndak laku. Paling tidak para peminat sejarah yang menjadi pembaca blog ini akan antri membeli buku anda. Ambo langsung pre-order kelimanya...hehehe...

(Sumber: goodreads.com, kyotoreview.cseas.kyoto-u.ac.jp, tempointeraktif.com)

Senin, 20 Februari 2012

Kunjungan Gubernur Jenderal ke Koto Gadang (1920)

(Pengantar : Artikel ini bersumber dari Suaro Kotogadang. sebuah media komunikasi antara masyarakat  Koto Gadang --sebuah nagari di pinggiran kota Bukittinggi.
Sejatinya Koto Gadang adalah sebuah nagari yang unik. Di saat nagari-nagari lain di Ranah Minang lari menjauhi penjajah kolonial Belanda, Koto Gadang justru lari mendekati. Efek positifnya adalah bahwa pada awal abad ke-20 anak nagari Koto Gadang banyak yang melek huruf dan fasih berbahasa Belanda, banyak yang berpendidikan tinggi --bahkan sampai ke negeri Belanda, serta banyak yang menduduki jabatan tinggi di pemerintahan dan perusahaan swasta kolonial di seluruh Hindia Belanda. Bahkan beberapa diantaranya menjadi pendiri republik ini.
Disamping itu di Nagari Koto Gadang sendiri terdapat apa yang tidak dipunyai daerah lain di Ranah Minang bahkan di Indonesia : Sekolah HIS Pemerintah, Listrik, Air Ledeng, Yayasan Beasiswa (Studiefonds) sampai Sekolah Keputrian serta majalah. Tak heran jika nagari ini dikunjungi oleh Gubernur Jenderal sewaktu melawat ke Padang.
Berdasarkan catatan sejarah, Gubernur Jenderal yang berkuasa pada saat laporan Suaro Kotogadang dibawah ini dibuat adalah Johan Paul Graaf van Limburg Stirum, sama seperti yang pernah berkunjung ke Padang pada tahun 1916 (lihat disini))

Suaro Kotogadang

Kedatangan Zijne Excellentie (Z.E.) Gouverneur Genaraal di Kota Gedang

Kaba Kampung

Pada hari jang telah ditentoekan menoeroet programma perdjalanan Z.E. pada hari Isnajan 16 Augustus ‘20 njatalah soedah pada hari jang terseboet Z.E. akan datang di Kota Gedang mengoendjoengi roemah sekolah renda Keradjinan Amai Setia, itoepoen soedah kira2 15 hari lebih dahoeloe soedah di ansoer2 meoeroeskan segala kebersihan kampoeng2 jang boleh dikatakan setiap2 hari Kota Gedang di datangi Kapala Pemerintah boeat meatoerkan kebersihan kampoeng2 dan sekolah2 sebagai soedah diseboet djoega di Sr.K.G jang telah laloe.

Maka pada hari jang terseboet telah siap sekaliannja Gaba-gaba, merawa Penghoeloe2 dan mandera tiga warna boeat perhijasi kampoeng2 dan djalan2 jang akan di laloei Z.E. maka kira-kira poekoel 9 1/2 pagi telah datang toean Controleur Agam beserta njonja sesampai di Tapi. Padoeka toean Controleur toeroenlah dari atas auto membitjarakan kapada panghoeloe2 jang sekatika itoe beloem seberapa jang hadir dan meatoerkan bagaimana hendaknja perdirian menanti menjamboet Z.E. Itoepoen padoeka atoerkanlah soesoen latakja dan teroes djoegalah ka hilir dimoeka roemah sekolah Studiefonds pedoeka atoerkan poelalah kapada goeroe2 bagaimana anak2 sekolah itoe menjamboet dan bernjanji dan teroes djoegalah ke roemah sekolah K.A.S.

Disana padoeka toean Controleur dan njonja melihat soesoen latak segala barang-barang dan perhiasan adalah menjenangkan hati padoeka toean dan njonja apalagi ada seboeah medja dihijasi barang2 anoegerah jang diberikan Gouv: kepada almarhoem ankoe Datoe di Negeri Orang Kaja Besar Hoofd Djaksa Padang jang pensioen jaitoe ajah dari ankoe Soetan Mohamad Salim Hoofd Djaksa Riauw jang soedah pensioen poela. Seboeah bintang mas besar pakai rantai pandjang dan seboeah baki terboeat dari perak dan beberapa soerat2 tanda terima kasih kapada almarhoem ankoe Hadji Abdoel Gani Radja Mangkoeta dari Minister van Colonien dan Prins van Oranje poetera mahkota Radja di negeri Belanda tetakala beliau pergi ke negeri Belanda dan soerat2 itoe bertarich di dalam tahoen 1871 dan 1875.  Melihat keadaan ini sangat menjenangkan hati padoeka. Dan bertanja siapa almarhoem itoe maka ketika itoe anak dari almarhoem jaitoe ankoe Soetan Mohamad Arif mantri O.R. Sawahloento jang pensioen ada hadir maka baliau terangkanlah dengan setjoekoep2nja karena kalau2 Z.E. bertanjakan nanti.

Didalam roemah sekolah itoe di atoerkanlah moerid-moerid satoe-satoe klasnja dan dibelakang ada tersedia lagi seboeah Loods tempat bertenoen. Dan diatoer djoega orang jang akan memakai pekajan marapoelai sampai 3-4 ketoeroenan pekajan; boeat memakai pekajan marapoelai laki-laki pentjarian ninik mamak dan anak negeri,

1. Baas (tahoe bahasa Belanda) memakai pekajan berdestar gedang mas, roki dari beloedroe memakai terapang dan panding sebagai nan dibiasakan tiap-tiap orang berkahwin berlarak.
2. Sjarif memakai badjoe gadang sawara bertjoekir dan memakai destar bersaloek
3. Adjis memakai kain tarewai
4. Mintjen idem

dan boeat memakai pekajan merapoelai perampoean.
1. Mainar (tahoe bahasa Belanda) memakai Badjoe Beramas, kain samboeran bergelang gadang, bertalakoeng enz. enz.
2. Moezoena memakai Badjoe Soetra Salindang dan sapoetangan enz. enz.
3. Goem memakai Badjoe hitam betarawang enz. enz.
4. Sabaa memakai Badjoe Tjela soetra enz. enz.

Jang memakai pakajan marapoelai laki-laki sebelah kanan dari pintoe masoek di Gang tengah. Jang memakai pekajan marapoelai perampoean di sebelah kiri pintoe di dekat medja barang-barang anoegerah Gouv. tadi.

Dan kira-kira poekoel 10 datang lagi ankoe Demang Bt. Tinggi baliau poen toeroenlah di Tapi poen adalah bersenang hati melihat segala Penghoeloe2 dan anak negeri memakai pekajan jang sepatoetnja; gadang ketjil toea moeda kaloear semoeanja laki laki perampoean; bersenang hatilah segala anak-anak sambil berkata oleh karena pada ini tahoen tiada meadakan keramaijan penoetoep hari raja tersebab anak negeri ditimpa bahaja kelaparan dengan keramaijan inilah diganti jang barangkali 3 kali lipat raminja, apalagi adalah poela di datangi penghoeloe-penghoeloe dan orang moedanja di iringkan mantjak dan tari poepoet dan saloeng dari Sianok, Goegoe’ dan Koto Toea serta kepala-kepala negeri jang terseboet memakai pakajan adat, maka ankoe Demang moendar-mandir sadja berdjalan kian kemari membantoe peratoeran pendirian penghoeloe-penghoeloe.

Maka semantara menanti kedatangan Z.E. berbagailah boeni saloeng dan poepoet jang di iringi dengan njanji oleh Bagindo Kajo Koto Toea bersoeka rajalah segala marika.

Maka pada poekoel 1 betoel kelihatan seboeah Auto, itoepoen merikaitoe rioehlah pada bersoesoen sebagaimana jang diatoerkan, sekiranja Auto itoe dinaiki oleh doea orang toean toekang gambar Z.E. sambil toean itoe mengatakan ta’ berapa lagi Z.E. akan sampai disini. Ijalah toean ini sebagai pengendjoer djalan, karena selaloe toean-toean itoe toeroet djoega kamana-mana Z.E. berdjalan.

Sekiranja 10 menut lagi nampaklah Auto jang dinaiki Z.E. jang memakai bandera ke angkatan Z.E. jang berkibar-kibar di amboes angin maka bersedialah segala jang hadir sesampai Z.E. di dekat Soerau Tinggi diboenikanlah satoe poetjoek mariam alamat menjamboet kedatangan Z.E. dan taboeh nebderoelah serta gong dan gandang bertioep poela, Auto Z.E. akan masoek pintoe Gerbang (gaba-gaba) jang di Tapi berdjalan lambat dan di sonsonglah sepandjang adat dengan sirih ditjarano basahok dengan kain koening, itoepoen ankoe Dt. Mage’ Labih meoendjoekan tjarano itoe kepada Z. E. dan njonja besar serta toean Loehak Agam jang sama2 diatas Auto itoe, maka Z.E. menjemboet sirih itoe dengan sanjoem simpoel demikian djoega dengan njonja besar, maka teroes djoegalah Auto kenaikan Z.E. ka roemah sekolah K.A.S. dimoeka roemah sekolah Studiefonds disamboetlah dengan njanjian anak-anak sekolah dan sampai di roemah sekolah K.A.S. menderoe poelalah Gaoeng dan Gandang.

Maka dibelakang Auto kenaikan Z.E. bertoeroet2lah 10 boeah Auto jang dinaiki oleh beberapa toean2 jang berpangkat2 tinggi, toean2 pengiring Z.E. dan toean besar Soematera Barat.

Maka toeroenlah Z.E. dan njonja besar dari Auto dan teroes naiklah ke sekolah K.A.S. moela2 masoek Z.E. melihat sekali keatas medja jang berisi Bintang dan Baki serta soerat-soerat itoe serta membatjanja dan bertanjakan dengan bahasa Belanda siapa orang ini jang ketika itoe Mainar ada berdiri; itoepoen Mainar mendjawab dengan bahasa Belanda mengatakan jang orang toea itoe ninik dari soeaminja Dr. Mohd. Sjaaf jang sekarang melandjoetkan peladjaran di negeri Belanda.

Z.E. bertitah peladjaran apa.
Djawab Mainar, obat mata karena disini orang banjak sakit mata tersebab ajer koerang baik,
Z.E. bertitah mengapa tidak ambil ajer hoedjan.
Djawab Mainar ada tapi kaloe soedah panas tida ada lagi.
Titah Z.E. Ajer dari mana diambil oleh anak negeri.
Djawab Mainar Ajer dari sawah2 sadja.

Maka Z.E. roepanja sebagai memberi isjarat kepada pengiring Z.E. jang dengan sebentar itoe meambil notes dan menoeliskan (segala marika jang melihat menadahkan tangan ke arah langit; tergeraklah hati orang besar ini akan memberi pertoeloengan waterleiding).

Dan bertitah lagi pada Mainar: kamoe apa maoe pergi djoega ka negeri Belanda?
Ija dalam boelan September soedah dapat tempat beloem dapat chabar tapi soedah diminta.

Setelah Z.E. selasai bitjara dengan Mainar maka berdjalanlah Z.E. melihat sebelah kanan tempat pakajan marapoelai laki-laki, bertanja poela dalam bahasa Belanda kepada Baas

Kamoe siapa?
Djawab: goeroe sekolah S.K.G.
Soedah berbini?
Soedah;
Soedah ada anak?
Soedah ada 1
Dan bertanjakan lagi: bagaimana atoeran ini pakajan?
maka Baas menerangkan dengan sedjalas-djalasnja satoe persatoe atoeran pekajan itoe.

Maka baroelah Z.E. melihat perboeatan tangan anak-anak dan renda-renda itoe setiap-tiap kelasnja serta bertanja. Apalagi njonja besar bertanja dengan senjoem simpoel dan melihat orang bertanoen serta soeroeh menjoedahkan dengan segira doea pasang moeka slof dan naik koembali ka gang ditangah.

Maka sepeninggal Z.E. dan njonja besar melihat di lain-lain klas berganti-gantilah toean-toean itoe datang bertanja pada Mainar dan Baas, roepanja banjak menaroeh heran karena melihat Mainar mendjawab segala segala apa apa pertanjaan dengan hati jang tetap dan sabar serta teratoer dengan ringkas perkataan jang banjak mengandoeng isinja jang berarti.

Sebentar berdiri maka datanglah Directerise (Hadisah) bersama Bestuures dari K.A.S. menjambahkan karangan boenga beserta 2 boeah bantalan terboeat daripada soetra koening jang memakai renda-renda Palembang perboeatan tangan moerid2 K.A.S. (1. boeat bantal doedoek di Auto, 2. boeat bantal penoetoeb teko thee) menjambahkan dengan segala hormat boeat njonja basar; maka njonja besar menerima dengan segala soeka hati serta meminta’ banjak terima kasih.

Sekoetika lagi madjoe poela ankoe Datoe’ Maharadja menjambahkan dengan segala kehormatan serta menarangkan jang bahasa segala panghoeloe2 dan segala anak boeah di K.G. memberi 1 bingkisan persembahan boeat njonja besar 1 halai kamboet perboeatan tangan anak negeri Koto Gedang dan menerangkan oleh karena Z.E. telah soedi datang di negeri kami ini moedah-moedahan Allah mendatangkan sitawar dan sidingin bagi kami saisi negeri akan kedatangan Z.E. itoe;

Mendengar persambahan ankoe Dt. Maharadja ini Z.E. menerima dengan soeka hati poela serta bertanja panghoeloe apa djadi kapala dari panghoeloe nan lain-lain djawab ankoe Dt. Maharadja perhamba dioetoes dengan kata semoefakat oleh penghoeloe2 dan anak boeah Kota Gedang menjambahkan persambahan ini itoepoen Z.E. meminta’ terima kasih banjak; serta memboeka sekali bingkisan itoe, dan setelah njata isinja meoelang lagi mengatakan terima kasih dan akan menjimpan dimana tempat jang baik.

Adalah kira-kira setengah djam betoel Z.E. di roemah sekolah K.A.S. memperhatikan apa-apanja. Setelah selasai Z.E. dan njonja besar berangkat toeroen dan teroes naik Auto berdjalan ke Boekit Tinggi demikian poelalah toean2 jang lain, setelah sekalian Auto2 itoe melaloei Tapi maka di tioep lagi sepoetjoek mariam alamat memberi selamat djalan. Dan oleh toean toekang2 gambar semoanja moerid sekolah renda jang sedang bekerdja didalam tiap2 klasnja dan orang jang memakai pakajan merapoelai laki2 perampoean dipotret poela. Demikian djoega panghoeloe2 dan ankoe2 dan segala orang2 moeda jang hadir serta berdjanji akan mengirim tiap2 potret itoe sehelai boeat sekolah.

Selasai daripada ini kira2 poekoel 2 berangkat poelanglah segala marikaitoe dan berbondong2lah ketje’ mangetje'.  Ma’aloemlah ankoe2 pembatja.  Lebih2 beronggok2 doedoek di Tapi memperkatakan ini dan itoe (tentoe lebih beringin hati sanak soedara jang dirantau jang pendoedoek ka Tapi katika poelang boekan?)

Salam kami

(Catatan penutup:
Ringkasan laporan pandangan mata ini kurang lebih adalah:

1. Tujuan utama kedatangan pak Gubjen adalah meninjau Sekolah Kerajinan Putri "Amai Setia". Kerajinan Amai Setia ini sampai sekarang masih eksis.
2. Kontrolir Agam dan Nyonya datang pukul 9.30 pagi meninjau segala persiapan serta turut mengatur sana-sini.
3. Angku Damang Bukittinggi tiba di lokasi pukul 10 pagi. Angku Damang bertugas mengatur posisi berdiri para penghulu kaum.
4. Empat pasang uda-uni disiapkan menyambut pak Gubjen dengan 4 jenis pakaian pula. Sepasang diantaranya fasih berbahasa Belanda.
5. Pukul 13.00 datang sebuah mobil. Rupanya bukan pak Gubjen, tapi tukang ambil muka alias fotografer pak Gubjen baru yang datang.
6. 10 menit kemudian barulah pak Gubjen dan istri datang dengan diiringi 10 buah mobil berisi pejabat-pejabat penting.
7. Beda dengan sekarang, sirih dan carano diantarkan ketika pak Gubjen masih diatas mobil. Entah apa alasannya.
8. Dari pembicaraan pak Gubjen dengan Mainar, salah seorang pagar ayu, terlihat bahwa anak nagari Koto Gadang sudah ada yang menjadi jaksa di Padang dan Riau, mantri O.R (apa ini? Mantri Orang Rantai?) di Sawahlunto. Bahkan ada yang mendapat Bintang Mas dan penghargaan dari Menteri Jajahan dan Putra Mahkota Belanda sendiri. Adalagi Dr. M Syaaf yang sedang mengambil spesialis mata di Belanda. Bahkan Mainar sang pagar ayu juga sedang bersiap-siap untuk berangkat ke negeri Belanda. Bayangkan tingkat emansipasi di Koto Gadang waktu itu. Anak perempuan diizinkan berangkat ke negeri yang jauh....halah..halah...
9. Setelah berkeliling dan melihat-lihat kelas, pak Gubjen dan nyonya dihadiahi bu Kepala Sekolah 2 buah kerajinan sulaman yaitu alas duduk di mobil dan penutup tea set.
10. Salah seorang Datuk mewakili yang lain menghadiahkan sebuah kambuik (tas tangan) kepada nyonya Gubjen. 
11. Setelah kira-kira setengah jam, pak Gubjen dan rombongan berangkat ke Bukittinggi dengan diiringi dentum meriam sebagaimana pada saat datangnya. Untung pak Gubjen atau nyonya ndak berpenyakit jantung....
12. Terakhir, kenapa kok majalah Suara Kotogadang ndak pernah menyebut nama pak Gubjen, ya? Cuma dengan inisial Z.E alias Yang Mulia. Apa memang tatakramanya begitu? Takut kualat kalau neyebut nama ya pak Editor? Jadinya kayak Voldemort-nya Harry Potter dong....)

Sumber : sawahloento.blogspot.com

Sabtu, 28 Januari 2012

Orang Rantai (1892 - 1938)

Jika berbicara soal kerja paksa --seperti jaman Romusha oleh Jepang--, maka sebenarnya di Ranah Minang pada jaman kolonial Belanda juga ada kerja paksa, bahkan sebenarnya menjurus ke perbudakan. Lokasi terjadinya adalah di tambang batubara ombilin antara tahun 1892-1938.

Lihatlah gambar dibawah. Dua orang dengan kaki dan tangan dirantai sedang diturunkan dari sebuah kendaraan, Tepatnya gerbong kereta api --yang merupakan alat transportasi utama pada saat itu. Merekalah yang disebut dengan "orang rantai". 


Orang rantai merupakan sumber tenaga kerja murah bagi tambang batu bara di Sawahlunto yang sedang naik daun produksinya pada saat itu. Betapa tidak, hanya dengan menyediakan makan dan minum serta sedikit upah, tenaga kerja tersedia untuk menambang selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu. Non-stop.

Darimana datangnya orang rantai ini? Mereka adalah para narapidana dari penjara-penjara yang ada di Pulau Jawa dan tempat-tempat lain di Hindia Belanda. Dan sialnya, mereka ternyata tidak hanya terdiri dari para kriminal semata, tetapi juga para pemberontak dan tawanan politik yang melawan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda. Jadi sebenarnya sebagian dari orang rantai adalah para pahlawan lokal yang nasibnya berakhir di pelosok Ranah Minang --tepatnya di dalam lubang tambang di Sawahlunto. Bercampur dengan para penjahat.

Orang rantai bekerja dalam 3 shift, pagi-siang-malam, masing-masing 8 jam. Mereka digiring dari kamp ke lubang tambang secara berbaris dengan cara kaki dan tangan dirantai satu sama lain. Begitupun waktu pulang. Persis binatang ternak yang digiring majikannya.  

Apapun bisa terjadi di dalam lubang tambang. Dendam dan permasalahan yang tidak selesai diluar bisa diselesaikan dengan perkelahian dan pembunuhan di lubang tambang. Pimpinan tambang tidak peduli dengan hal-hal seperti itu. Fasilitas kesehatan disini hanyalah untuk menjaga agar para orang rantai tetap sehat. Karena hanya yang sehat yang bisa bekerja. Tidak ada alasan lain. 

 Orang rantai yang masuk Sawahlunto berarti bersiap berkubur di sini.  Tanpa ada berita, semua lenyap ditiup angin Sawahlunto. Tidak ada jurnalis, tidak ada penggiat HAM yang mengetahui dan mengabarkan apa yang sebenarnya terjadi ke dunia luar. Tidak ada yang tahu bahwa perbudakan masih terjadi di zaman modern di dalam perut bumi Ranah Minang.



Ada satu hal yang menarik perhatian ambo. Tidak ada satupun dokumentasi yang ambo temukan sejauh ini yang menunjukkan adanya orang yang tangan dan kakinya dirantai terlihat sedang bekerja di dalam tambang. Contohnya seperti foto di atas. Para penambang bekerja dengan mengayunkan linggis sementara para bule dan centeng nyender-nyender ke tonggak sambil mengawasi pekerjaan.

Ada 2 kesimpulan ambo tentang hal ini. Pertama, bahwa perantaian hanya dilakukan pada saat di luar tambang. Dapat dimaklumi karena tidak ada tempat lari di dalam lubang tambang yang sempit dan pengap itu. Satu lagi, bagaimana mereka bekerja mengayunkan linggis dan mengambil kuda-kuda dengan kuat kalau saling dirantai? Artinya produktivitas tidak akan maksimal.

Kesimpulan kedua adalah bahwa memang para juragan tambang kolonial sengaja tidak memotret orang rantai yang sedang bekerja di dalam tambang. Tentunya untuk kepentingan politis. Apa kata dunia nanti? Jadi yang dipotret adalah buruh bebas atau buruh kontrak saja. Ini karena kedua jenis buruh ini juga ada di tambang batu bara ombilin.

Terakhir, tidak hanya selagi hidup, setelah meninggal dunia pun, tidak ada penghargaan yang layak bagi orang rantai. Tidak ada nama di nisannya agar keluarganya dapat mengunjungi dan berkirim doa. Yang ada hanya lah sederet nomor yang tidak begitu jelas artinya. Nomor register orang rantai kah atau nomor register kematian kah? Antahlah, yuang...


Sumber : kitlv.nl, sawahloento.blogspot.com, teraszaman.blogspot.com

Rabu, 11 Januari 2012

Rel Kematian Muaro - Pekanbaru (1943 - 1945)

Sewaktu  kecil, ambo pernah melihat satu seri foto-foto almarhum Bapak bersama teman-temannya di suatu lokasi. Beliau berbaju hijau, bercelana pendek, bersepatu bot dengan pistol di pinggang. Teman-teman beliau juga berbaju hijau. Maklumlah, mereka semua tentara.

Backgroundnya bermacam-macam. Ada yang di sungai, ada yang di atas rel, ada yang seperti terowongan atau gua. Ketika ambo tanya fotonya diambil dimana, jawaban yang ambo terima adalah "Logas". Berikutnya justru kakak-kakak ambo yang menambahi bahwa Logas itu adalah tambang emas Jepang dan banyak orang Indonesia dikirim ke sana oleh Jepang untuk kerja paksa menambang emas dan membangun jalan kereta api dan akhirnya tewas disana. Ditutup dengan kabar pertakut, "karena itu di sana angker - banyak hantunya..."

Gambaran itulah yang melekat di benak ambo sejak kecil tentang daerah yang bernama Logas. Karena ambo sendiri sampai sekarang tidak pernah menginjakkan kaki di sana. Tapi cerita sebenarnya menjadi jelas bagi ambo ketika menemukan sketsa berikut di dunia maya.


Sketsa itu adalah sketsa rencana rel kereta api yang menghubungkan antara ujung rel yang telah ada di Muaro (Sijunjung) ke Pekanbaru. Nantinya akan menghubungkan pantai barat dengan pantai timur Sumatera, sebagai bagian dari jaringan kereta api pulau Sumatera oleh Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda. (lihat disini). Jalur ini melewati Muaro - Logas - Muara Lembu - Lipat Kain - Taratak Buluh - Tangkerang dan berujung di Pekanbaru.

Rencana itu telah mendekati detail, dengan memuat dimana kamp harus dibuat dalam proses pembangunan rel. Total ada 16 kamp (kamp 4 dan 7 dobel), dengan kamp 1 berada di tepi sungai Siak di Pekanbaru. Logas sendiri berada di kamp 9 --142 Km dari Pekanbaru. Total panjang rel itu sendiri sekitar 220 Km. Kendala utama dalam mewujudkan rel ini adalah kontur daerah yang sangat sulit serta hutan belantara yang masih belum terjamah dengan binatang buas di dalamnya.

Ketika Jepang masuk, rencana ini jatuh ke tangan mereka. Mereka melihat rel ini akan memudahkan mereka untuk bergerak menghindari ancaman sekutu di Samudera Hindia dengan mempercepat akses ke Selat Malaka. Demikian juga akan mempercepat akses bantuan logistik dan balatentara dari semenanjung Malaya ke Sumatera. 

Apa yang sulit bagi Belanda, gampang di mata Jepang. Medan yang sulit diatasi dengan mendatangkan tenaga kerja dari Jawa sejak September 1943. Pada awalnya dengan iming-iming gaji, tapi akhirnya dengan paksaan. Romusha. Masih dianggap belum cukup dengan itu, sejak Mei 1944 didatangkan tawanan perang bangsa Eropa untuk bekerja.

Secara total diperkirakan lebih dari 100.000 orang romusha dan 5000 orang tawanan perang dipekerjakan di jalur rel ini. Dari angka itu 80.000 orang romusha dan 700 orang tawanan perang tewas dan berkubur di sepanjang rel. Itu belum terhitung 1.800 orang tawanan perang yang tenggelam bersama kapal Van Waerwijck and the Junyo Maru yang ditorpedo sekutu sebelum sampai ke Pekanbaru. Dari angka-angka itu lah jalur rel ini mendapatkan namanya "Death Railways" atau "Rel Kematian", sama seperti Rel Kematian lain yang ada di perbatasan Birma - Thailand dan Saketi - Bayah di Banten Selatan.

Buku yang paling detil mengungkap tentang tragedi ini adalah karangan Henk Hovinga yang berjudul  Eindstation Pekan Baru 1944-1945-Dodenspoorweg door het Oerwoud terbitan KITLV Leiden. Di dalam bukunya Hovinga menulis bahwa para pekerja itu telah dipaksa bekerja “dalam suatu neraka hijau, penuh ular, lintah darat dan harimau., lebih buruk lagi miliaran nyamuk malaria, di bawah pengawasan kejam orang-orang Jepang dan pembantu mereka orang Korea”.

Ditambah lagi dengan cara orang Jepang yang menghindari pembuatan terowongan sebagaimana rancangan aslinya dengan cara mendinamit perbukitan. Seringkali tanpa pemberitahuan, sehingga pekerja yang bekerja dibawahnya ikut tertimbun. Rombongan berikutnya bertugas membersihkan reruntuhan hasil dinamit, sekaligus mengumpulkan mayat teman-temannya.

Semuanya dikerjakan dengan otot. Tidak ada peralatan yang memadai. Mulai dari menebang pohon, memotong tebing sampai memasang rel dan membuat jembatan semua dikerjakan dengan tenaga manusia. Ditambah gizi yang buruk, obat-obatan yang kurang serta perlakuan diluar batas kemanusiaan menyebabkan tingginya angka kematian.

Jalur rel ini selesai pada 15 Agustus 1945, tepat ketika Jepang takluk kepada sekutu. Tapi di tengah rimba raya Sumatera, Jepang belum kalah. Para serdadu Jepang masih meneriakkan banzai pada saat merayakan pematokan paku emas tanda selesainya jalur rel Muaro - Pekanbaru. Sementara para romusha dan tawanan hanya boleh menyaksikan upacara dan perayaan itu dari jauh.

Ironisnya, dengan puluhan ribu korban jiwa, rel ini berumur sangat singkat. Kereta api terakhir yang melewatinya adalah pada September 1945 yang membawa tawanan perang dari kamp-kamp kerja di dalam rimba menuju ke Pekanbaru. Jembatan-jembatan yang terbuat dari kayu dengan cepat lapuk dan hanyut oleh amukan sungai. Rel-rel yang tertinggal dengan cepat merimba dan sebagiannya lagi dibuat menjadi pagar oleh masyarakat dan jawatan Kereta Api sendiri untuk jalur Sawahlunto - Padang. 

Ingatan ambo kembali ke masa kecil. Foto almarhum Bapak yang ada di awal tulisan tadi dijepret pada awal tahun 60-an. Disadari atau tidak disadari oleh Bapak, kira-kira 20 tahun sebelumnya, tempat Bapak berdiri itu mungkin saja merupakan lokasi penyiksaan tentara Jepang terhadap seorang Romusha. Atau mungkin di tempat itu seorang romusha mati kelaparan dan dikuburkan. Mengingat puluhan ribu mayat bertebaran sepanjang 220 km rel. Inilah sebenarnya "hantu" Logas yang dibicarakan oleh kakak-kakak ambo dulu ketika kami masih kecil....

Dan hari ini, generasi sekarang di Sumatera Barat dan Riau hanya terheran-heran ketika menemukan sisa-sisa lokomotif di dalam hutan belantara atau ladang penduduk, tanpa tahu dari mana asalnya.....

(kita berkewajiban memberitahu mereka tragedi ini.....)

Sumber : kitlv.nl; pakanbaroe.webs.com; kadaikopi.com; bertuah.org

Kamis, 05 Januari 2012

Jaringan Jalan Kereta Api (1925)


Masih seputar peta jaman baheula. Kali ini datang dari sebuah buku yang berjudul Staatsspoor- en tramwegen in Nederlandsch-IndiĆ« 1875-6 April 1925 (Jalan Kereta Api Negara Hindia Belanda 1875 - 6 April 1925) yang ditulis oleh Ir. R.A. Reitsma, Kepala Perusahaan Kereta Api Hindia Belanda pada waktu itu. Buku ini diterbitkan dalam rangka 50 tahun hadirnya perusahaan kereta api tersebut di Hindia Belanda.

Didalam buku ini di gambarkan perkembangan perkeretaapian di pulau Jawa, Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Baik yang sudah berjalan, dalam pembangunan maupun sedang dalam penelitian atau studi. Singkatnya buku ini memuat Master Plan Perkeretaapian Hindia Belanda.

Dalam posting ini kita tampilkan wilayah Sumatera. Yang terlihat garis hitam tebal adalah jalan kereta api yang sudah digunakan. Terlihat ada 3 kelompok. Di utara : Tanjung Balai (Asahan) - Pematang Siantar - Medan - Belawan terus ke Kutaraja (Banda Aceh). Di selatan : Lahat - Palembang - Muara Enim - Baturaja - Kotabumi terus ke Panjang sebagai pelabuhan ke pulau Jawa masa itu. Di tengah : Inilah dia Teluk Bayur - Padang - Padang Panjang - Solok - Sawahlunto dan Muaro (Sijunjung). Dari Padang ada lagi yang bercabang ke Pariaman dan berakhir di Sungai Limau. Dari Padang Panjang berlanjut ke Bukittinggi - Payakumbuh - berakhir di Limbanang (50 Kota).

Dari kelompok jaringan jalan kereta api ini terlihat bahwa untuk pulau Sumatera Ranah Minang merupakan salah satu kawasan yang dianggap strategis pada masa itu sehingga pemerintah kolonial memerlukan untuk membangun jaringan jalan kereta api milik pemerintah. Kenapa ada kata-kata 'milik pemerintah'? Karena dari peta diatas terlihat bahwa jaringan jalan keretaapi di  Medan dan sekitarnya adalah jaringan jalan swasta (partikelir). Rel ini dibangun dan dioperasikan oleh perusahaan perkebunan tembakau yang mendapat konsesi di sana sejak 1883 melalui maskapai Kereta Api Deli. Sedangkan rel yang ke Aceh (lebar rel 0,75 m) berkemungkinan dibangun karena pengaruh operasi militer Belanda di sana yang memakan waktu sangat lama. Sementara di Selatan, jaringan rel antara Palembang dan Lampung masih terputus antara Martapura dan Kotabumi yang pada saat peta ini dibuat masih dalam tahap pembangunan. Jaringan ini pada akhirnya dapat menyambung pada tahun 1927 atau 2 tahun setelah peta ini dipublikasikan.

Memang tidak bisa dipungkiri bahwa batubara adalah salah satu faktor percepatan pembangunan jaringan  rel di Ranah Minang. Hanya berselang 12 tahun sejak jaringan rel pertama di Jawa antara Surabaya dan Malang dibangun oleh Perusahaan Kereta Api  Negara Hindia Belanda,  tahun 1887 jaringan rel kereta api dari Ombilin ke Padang sudah dibangun. Cukup cepat untuk daerah yang jauh dari Batavia.

Yang paling menarik dari peta ini sebenarnya adalah garis putus-putus berwarna putih. Itu adalah jalur rel yang sedang dalam studi. Kalau kita amati rencana jalur rel itu akan membuat pulau Sumatera menjadi tersambung dari Aceh sampai ke Lampung, dari pantai Barat ke pantai Timur.

Jalur rel dari Pariaman misalnya, akan diteruskan ke Rao. Dari Rao akan bercabang ke ke Padang Sidempuan terus ke Sibolga di Pantai Barat. Cabang lain akan menyambung dengan rel yang sudah ada di Tanjung Balai Asahan di Pantai Timur dengan melewati Kota Pinang.

Demikian juga dengan Muaro (Sijunjung). Ia akan menjadi hub bagi lanjutan rel ke Pantai Timur melewati Pekanbaru serta akan menyambung rel dari arah Lahat di Selatan melewati Sorolangun dan Rantauikir. Tidak dilupakan juga cabang rel yang ke arah Sungai Penuh (Kerinci) dan Bengkulu. Inilah backbone dari jaringan rel pulau Sumatera yang didisain oleh para insinyur dari Nederlandsch-Indische Staatsspoorwegen.

Dengan demikian apa yang sekarang digadang-gadang oleh beberapa kalangan dengan nama Trans Sumatera Railway -yang konon membutuhkan biaya 44 T- sebenarnya telah ada sejak 87 tahun yang lalu. Mungkin kita tinggal membongkar-bongkar arsip lama milik Jawatan Kereta Api Hindia Belanda itu, sebagaimana yang dilakukan tentara Jepang ketika mewujudkan sambungan rel antara Muaro dan Pekanbaru. Jalur ini belakangan dikenal dengan nama Death Railways alias Rel Maut karena banyaknya romusha dan tawanan perang yang tewas dalam proses pembuatannya.

Sekarang kita lihat sekilas disain yang sudah dibuat urang Ulando untuk jalur rel Muaro - Pekanbaru. Ceritanya kita lanjutkan nanti :)


Sumber : rendez-vous-batavia.nl; tjahjonorailway.blogspot.com

Wilayah Sumatra's Westkust (1932)


Dalam posting-posting terdahulu seringkali kita menyebut Sumatera Barat dengan istilah yang dipakai dalam adminstrasi pemerintahan kolonial Belanda, yaitu Sumatra's Westkust. Arti harfiahnya adalah Pantai Barat Sumatera. Namun nama ini sekaligus juga menjadi nama salah satu keresidenan di pulau Sumatera.

Apakah wilayahnya sama dengan wilayah Propinsi Sumatera Barat sekarang? Untuk menjawabnya mari kita lihat peta Keresidenan Sumatra's Weskust yang diterbitkan pada tahun 1932.

Dari peta terlihat bahwa Keresidenan Sumatra's Westkust dikelilingi oleh beberapa keresidenan lain yaitu Keresidenan Tapanuli, Oostkust van Sumatra (Pantai Timur), Indragiri, Jambi dan Benkoelen (Bengkulu). 

Dalam insert peta terlihat peta kota Padang dan Emmahaven alias Teluk Bayur. Dari insert ini terlihat bahwa yang disebut kota Padang pada waktu itu hanya sampai ke Banjir Kanal yaitu daerah Purus dan Jati. Sedangkan kawasan Muaro dan Pondok sudah terlihat lebih padat infrastruktur jalannya. Rel kereta api membentang sampai ke ujung Muaro (yang sekarang tidak ada lagi). Begitu pun di Teluk Bayur, rel KA sampai ke ujung pelabuhan.

Kalau kita perhatikan batas-batas daerah ke arah utara maka sepertinya hampir sama dengan kondisi sekarang, yaitu perbatasan antara Sumatera Barat dan Sumatera Utara terletak antara Rao dan Kotanopan. Sama halnya dengan  batas antara Air Bangis dan Natal. Demikian juga dengan ke arah Indragiri, yaitu antara Kiliranjao (sekarang) dan Taluk (Kuantan). Idem ditto yang ke arah Bengkulu, antara Tapan dan Muko-muko.

Yang berbeda adalah yang ke arah Oostkust (Pantai Timur) atau Riau sekarang. Terlihat wilayah Westkust "merangsek" masuk sampai melewati Bangkinang, bahkan mendekati Pekanbaru, tepatnya di sebelum Taratakbuluah. Demikian juga yang ke arah Jambi bagian Selatan. Kawasan Kerinci lengkap dengan  Gunung Kerinci dan Danau Kerinci-nya sepenuhnya berada dalam wilayah Sumatra's Westkust.

Hal ini juga sejalan dengan apa yang tercantum di dalam UU No. 10 Tahun 1948 tentang Pemecahan Sumatra menjadi Propinsi Sumatera Utara, Tengah dan Selatan. Sumatera Tengah terdiri atas 12 Kabupaten terdiri atas 7 di ex-Westkust, 3 di ex-Oostkust dan 2 di Jambi. Dari komposisi ini terlihat betapa dominannya orang Minang di Propinsi Sumatera Tengah, sampai-sampai menimbulkan kecemburuan di belakang hari bagi masyarakat Riau dan Jambi.

Hingga saatnya pada puncak "pemberontakan" PRRI, Pemerintah Pusat mengeluarkan UU No. 61 tahun 1958 membagi Propinsi Sumatera Tengah menjadi Propinsi Sumatera Barat, Riau dan Jambi seperti sekarang ini, dengan "melucuti" Kampar dan Kerinci dari Sumatera Barat dan memasukkannya ke Riau dan Jambi. Apakah hal ini sebagai akibat kecemburuan masyarakat di kedua propinsi sebagaimana kita sebut tadi ataukah keinginan Pemerintah Pusat dalam rangka mengurangi dominasi Sumatera Barat di Sumatera  Tengah dalam kaitannya dengan PRRI? Hanya pelaku sejarah sendiri yang bisa menjawabnya.

Sebagai pembanding berikut peta Sumatera Barat sekarang.


Sumber : www.rendez-vous-batavia.nl; googlebooks:Gusti Asnan "Memikir Ulang Regionalisme"; peta-kota.blogspot.com

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...