Kamis, 21 April 2011

Pembuatan Jalan Teluk Bayur - Bungus (Tidak bertanggal)


Foto tak bertanggal diatas aslinya berjudul "Pembuatan Jalan Emmahaven - Bungus". Sekarang mari bermain logika sederhana. Pelabuhan Emmahaven atau Teluk Bayur dibuka tahun 1892. Jika foto ini menggunakan istilah "Emmahaven" maka dapat diasumsikan bahwa foto ini diambil sesudah tahun 1892. Dari arahnya juga dapat dilihat bahwa foto ini diambil dari arah Bungus, karena bukit terletak di sebelah kanan dan jurang (laut) berada di sebelah kiri foto.
Melalui foto diatas kita dapat mengetahui bagaimana jalan yang kita lewati sekarang dibuat dulunya. Jika diamati, ada 4 kelompok manusia yang berperan dalam foto diatas. Kelompok pertama, berbaju hitam, bertopi lebar, bersepatu boot dan bersenjata. Mereka adalah kelompok serdadu. Dalam foto ini mereka berdiri di sisi kiri dan kanan jalan dalam jarak yang cukup rapat dan menghadap kamera.
Kelompok kedua, berbaju putih, bertopi dan berdiri. Kemungkinan mereka adalah para mandor. Mereka juga menghadap kamera.
Kelompok ketiga, berbaju agak gelap, bukan putih, bukan hitam, kemungkinan kuning khaki (karena foto ini tidak berwarna), bertopi bundar dan berdiri. Dari topi dan caranya berdiri menghadap kamera sambil mengangkang dan bertolak pinggang, jelas kelihatan merekalah kelas tertinggi dalam kelompok orang ini. Merekalah para "toean" alias bangsa Belanda. Kemungkinan mereka adalah para insinyur jalan. Dalam foto ini mereka berada di tengah-tengah foto.
Kelompok ke empat, berbaju kulit (alias tidak berbaju) dengan kulit mengkilat berwarna tembaga akibat terbakar matahari, berjongkok dan memakai tutup kepala dari lilitan kain (atau tidak sama sekali), merekalah bangsa kita, bangsa yang sedang terjajah pada saat itu. Dari tangan merekalah sebenarnya bukit-bukit dipotong untuk membuat jalan menjadi lebar, batu-batu cadas dipecah dengan tangan dan selanjutnya disusun satu demi satu menjadi lapisan jalan berbatu yang sampai sekarang masih dikenal dengan nama onderlaag. Betapa berat kerja mereka. Jangan pernah berbicara upah, karena kehadiran serdadu di foto saja sudah dapat diartikan bahwa mereka bekerja tidak dalam kondisi yang wajar. Mungkin mereka adalah kuli murah atau malah tenaga rodi. Meskipun juga tidak dipungkiri bahwa pada saat itu karena tingkat keamanan yang rendah maka kehadiran serdadu selalu diperlukan dalam kegiatan apapun. Apalagi kegiatan menembus rimba seperti ini.
Selanjutnya untuk memadatkan barulah bekerja si stoomwals alias gilingan bermesin uap, sebagaimana ilustrasi di samping. Sayangnya ambo belum menemukan arsip foto si setrika bumi kecil yang sedang beroperasi di ranah minang jaman itu, sehingga ambo terpaksa menggunakan foto arsip lain untuk memberi sedikit gambaran. Oya, ambo pernah melihat stoomwals jenis ini sudah jadi monumen di sekitar daerah Lubuk Sikaping. Kalau ada kesempatan ke sana akan ambo upload disini fotonya. Mungkin orang-orang yang lewat disana juga tidak begitu memperhatikan monumen itu, sebagaimana juga ambo. Tetapi ternyata banyak jasanya. :)
(foto koleksi Tropen Museum - Amsterdam dan www.dordtinstoom.nl)

Update : Tambahan info dari bung Alconery bahwa lokasi pengambilan gambar itu berada di bawah kelok jariang, di tempat yang bernama Batu Ba-apik. Si bung kita ini juga menyertakan sebuah foto dari tahun 1920 dengan catatan : Harap perhatikan pertumbuhan pohon durian si sebelah kiri jalan. Jika diperhatikan, memang lokasi ini mirip. Dari pohon duriannya (yang sudah bertambah besar), bentuk tebing di sebelah kanan, susunan batu pembatas jurang di sebelah kiri jalan dan.....jalan yang terbuat dari batu-batu pecah yang disusun...! Selamat mengamati..!

Rabu, 20 April 2011

Kunjungan Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum ke Padang (1916)

Pada suatu hari di tahun 1916, kota Padang berbenah diri, bersiap menyambut kedatangan seorang tamu agung yaitu wakil mahkota Ratu Belanda di Hindia Belanda. Siapa lagi kalau bukan sang Gubernur Jenderal Johan Paul Graaf van Limburg Stirum. Jika dinilai sekarang, kunjungan ini setara dengan kunjungan pak SBY lah. Untuk kondisi transportasi yang ada pada saat itu, kunjungan ini luar biasa karena memerlukan pelayaran dengan kapal selama berhari-hari dari Batavia menuju Padang.
Sebagai seorang Gubernur Jenderal, van Limburg Stirum terkenal sebagai gubernur yang agak liberal dibanding para pendahulunya, terutama terhadap anak jajahan. Ia berkuasa antara tahun 1916 - 1921. Pada masanya dibentuk Volksraad atau Dewan Rakyat yang melibatkan bangsa pribumi sebagai anggota. Dengan demikian hak politik mulai dimiliki oleh anak negeri. Karena itu pula ia kurang disenangi oleh sesama rekannya para pejabat Belanda.
Kembali ke cerita kita. Kunjungan sang Gubernur Jenderal tentu menyibukkan para pejabat lokal di Padang dan sekitarnya. Sampai-sampai harus membuat gerbang seperti yang tergambar disamping.
Gerbang itu dibuat meniru gerbang Arc de Triomphe di Paris tapi tentunya ala Padang. Dibubuhi tulisan Welkom te Padang yang artinya Selamat Datang di Padang. Dihiasi juga dengan bendera Belanda. Apakah terdapat juga warna marawa tidak begitu jelas.
Posisi persis gerbang ini berdiri tidak begitu pasti. Hal ini karena konstruksi jembatan dengan rangka baja melengkung seperti yang nampak di belakang gerbang itu tidak kita temui lagi sekarang, kecuali untuk jembatan kereta api. Jadi tidak ada pembanding.
Yang hampir dapat dipastikan adalah posisi jembatan ini berada di batas kota Padang dari arah pelabuhan Emmahaven atau Teluk Bayur. Itu karena sang penguasa turun dari sana.
Ditengah jembatan berdiri dengan gagahnya mengendarai kereta angin seorang ambtenaar berbaju beskap putih. Mungkin kalau sekarang, dia itu polantasnya, biar jangan ada yang lewat atau melintas (lagipula siapa berani? :)). Disampingnya, persis di bawah pilar, berdiri seorang pejabat pribumi dengan saluaknya. Mungkin angku damang atau angku kapalo nagari daerah tersebut. Ditengah jembatan juga masih banyak orang berdiri. Siapa tahu salah satunya disana adalah paspamgubjen alias paspampres masa itu?
Rakyat juga berdiri menanti di pinggir jalan dengan pakaian bagus. Seperti hari raya saja layaknya. Baju bersih dan berkain sarung serta berkopiah, tua dan muda.
Tibalah saatnya. Kapal MS. Insulinde yang ditumpangi rombongan Gubernur Jenderal dari Batavia merapat di Emmahaven atau Teluk Bayur. Tidak diketahui apakah kapal itu dicarter seluruhnya ataukah rombongan itu berlaku sebagaimana penumpang biasa. Karena kalau sekarang, kepala negara kan mencarter satu pesawat?
Rakyat dan pejabat berbaur menjadi satu berdiri di tepi dermaga menantikan peristiwa bersejarah yang entah kapan terulang lagi. Kunjungan pejabat tertinggi Hindia Belanda ke Sumatera Westkust.
Selanjutnya foto-foto koleksi Tropen Museum Amsterdam akan berbicara lebih banyak. :)



Kapal MS Insulinde merapat di pelabuhan Emmahaven. Terlihat karpet (merah?) terbentang. Di atas kapal berjejer pria dan wanita berpakaian "wajib" berwarna putih melongok ke bawah.
Gubernur Jenderal (paling depan) menuruni kapal. Sepertinya memakai jas biasa, tidak dengan pakaian putih dan topi bundar sebagaimana pejabat-pejabat Belanda lainnya. Sementara beberapa langkah di belakangnya sang istri mengikuti, dengan dibantu seorang kru.
Dibawah sudah bersiap sedia 2 orang pejabat. Yang satu, berbaju hitam kemungkinan adalah kapten kapal atau setidaknya pejabat kapal. Dilihat dari topi yang dikenakannya. Sementara yang berbaju putih, ah, sudah pasti dia salah seorang penguasa di kawasan Sumatera's Weskust.
Sesampai di darat, Gubernur Jenderal dan istri berjalan menuju tempat penyambutan, dengan didampingi seseorang yang berpakaian putih dengan jas hitam dan celana putih. Mungkin tuan Residen. Sementara di belakang juga berdiri seorang nyonya, mungkin nyonya residen. Yang diatas juga masih celingak celinguk.

Rombongan sudah mendekati tempat penyambutan. Disebelah kanan gambar terlihat korps musik dengan terompet dan genderang. Di bagian depan terlihat barisan militer dengan topi berjambul dan diikuti dengan barisan pejabat sipil yang mengenakan pakaian berwarna putih.
Yang menarik, kapalnya terlihat agak miring ke arah dermaga. Apakah efek foto atau memang begitu? Ataukah karena pengaruh seorang Gubernur Jenderal itu begitu besar sehingga kapal juga harus dimiringkan ketika dia turun? Biar nggak terlalu jauh turun tangga mungkin?
(sumber : nl.wikipedia.org; foto-foto koleksi Tropen Museum - Amsterdam)

Selasa, 19 April 2011

Seabad Kelok 9 (1910 dan 2010)



Atas : Tahun 1910 (Sumber : Koleksi KITLV, Leiden)
Bawah : Tahun 2010 (Sumber : subkiskeigoblogspot.com)
Kedua foto ini mengambil lokasi dan angle yang sama, tapi dipisahkan jarak waktu seratus tahun. Lokasi yang dipilih adalah Kelok Sembilan, sebuah lokasi berjarak kira-kira 70 km dari Bukittinggi arah ke Pekanbaru.
Sesuai namanya, Kelok Sembilan mempunyai 9 buah kelok (bahasa Minang yang berarti tikungan) dengan sudut putar 180 derjat. Sebuah cara yang dibuat oleh Belanda dalam menyiasati beda tinggi yang mencolok antara jalan bagian bawah dan bagian atas. Cara ini efektif untuk memperpendek jarak tempuh karena tidak perlu memutar mengelilingi bukit. Selain disini, kelok yang banyak juga terdapat di Kelok 44 (Maninjau) dan Sitinjau Laut (Padang-Solok). Lain waktu kita jalan-jalan ke sana.
Kelok 9 dibangun Belanda pada tahun 1908 - 1910. Pada foto pertama, sepertinya dipotret pada saat jalan itu baru selesai dibangun tahun 1910. Ini terlihat dari lingkungan yang bersih dari tanaman-tanaman besar. Bahkan ada yang masih bertumbangan. Dalam foto juga terlihat sebuah mobil menuruni kelok sembilan dan di kejauhan sana terlihat jalan mengular menuju kepekatan rimba raya, ke arah kota Pajakoemboeh alias Payakumbuh. Terbayang waktu itu, apa yang ada dalam pikiran para penumpang mobil ketika berjalan dalam naungan batang kayu raksasa di kiri-kanan jalan. Alangkah beraninya!
Foto kedua, seratus tahun kemudian. 2010. Perbedaan yang mencolok adalah jalan sudah dilapisi aspal mulus lus lus. Kemudian kepekatan hutan terlihat berkurang dan tidak seseram foto seratus tahun sebelumnya. Yang pasti masih sama adalah konstruksi dinding penahan tanahnya. Dari kedua foto dapat dipastikan dinding itu adalah dinding yang sama. Dilihat dari bentuk dan alur-alur yang ada di permukaan dinding. Seratus tahun menantang panas dan hujan tidak membuat dinding itu lapuk dimakan usia. Jangankan rubuh, sompel pun tidak! Hanya ada penambahan dinding di sebelah kiri arah jurang. Mungkin untuk pencegahan karena sudah banyak pembalap jalanan yang terjun ke dalam sana.
Terakhir, ternyata kedua foto ini memperlihatkan bahwa lebar jalan di sana tidak berubah selama 100 tahun. Padahal kendaraan yang lewat sudah berbeda jauh ukurannya. Pantas saja sering macet....:)

Senin, 18 April 2011

Lembah Anai - Desember 1892



Foto ini merupakan hasil jepretan seorang fotografer terkenal yaitu C. Nieuwenhuis pada bulan Desember 1892. Sekarang merupakan koleksi dari KITLV di Leiden, Belanda. Teks pada laman KITLV yang mengiringi foto ini adalah :
Jembatan beratap dari Perkeretaapian Negara di pantai barat Sumatra di Lembah Anai dengan latar belakang saat banjir air terjun besar "Air Mantjoer" pada bulan Desember.
Perhatikan bahwa pada saat itu jembatan diberi atap. Ini mungkin berguna untuk orang berteduh saat hujan, mengingat kendaraan yang ada pada saat itu adalah kuda (selain kereta api).
Yang berkelok mulus di bagian atas, adalah jalan kereta api. Sedangkan jalan raya hanya sepenggal. Dari jembatan beratap, jalan itu sepertinya lenyap. Mungkin sebagian besar adalah jalan setapak atau malah belum ada. Hal ini karena jalan kereta api lah yang lebih dahulu di bangun oleh Belanda pada akhir abad ke-19 sebelum membenahi jalan raya antara Padang-Bukittinggi.
Yang menarik lagi adalah bahwa Belanda ikut menyebut air terjun itu dengan nama Air Mancur. Padahal sebenarnya nama itu kurang tepat. Air Mancur mestinya menyembur dari bawah, kan?
Selanjutnya terbaca juga bahwa pada masa itu belum ada yang namanya cuaca ekstrim. Buktinya banjir besar masih bulan Desember. Masih sesuai pakem. Bulan ber-ber-ber artinya harus siap-siap dengan ember!

Sabtu, 16 April 2011

Video : Fort de Kock (Bukittinggi) - 1926


Video yang diupload oleh 011Kazuki di Youtube ini sengaja diposting berurutan dengan video sebelumnya karena mereka "serupa tapi tak sama".
Serupanya ialah karena ada beberapa frame yang sama, menunjukkan bahwa raw material untuk kedua video ini berasal dari sumber yang sama. Sedangkan tak-samanya adalah bahwa video ini menggunakan judul sebelum menampilkan satu segmen gambar, sehingga memberi informasi lebih kepada kita tentang gambar yang akan ditampilkan. Disamping itu, video ini mengkhususkan diri menyoroti kota Fort de Kock atau Bukittinggi saja.
Video ini berdurasi 2,5 menit dan perjalanan dari menit ke menit adalah sbb:
00.00 - 00.07 : Tulisan : "Fort de Kock berada pada ketinggian seribu meter di pegunungan." Dibawahnya tertulis : N.I.F.M Polygoon - Haarlem. Polygon adalah nama perusahaan yang membuat video ini. Buat pembaca yang berdomisili di Haarlem (Belanda), mungkin bisa melacak langsung ke sumbernya...
00.07 - 00.15 : Pemandangan ke arah Janjang Gudang dari arah Simpang Kangkuang. Kelihatan bendi berpacu ke satu arah. Mungkin di bawah janjang gudang terdapat pangkalan bendi, sebagaimana angkot sekarang mangkal di sana. Dari potongan ini tergambar bahwa Janjang Gudang merupakan akses utama untuk mencapai Pasar Atas pada masa itu.
00.15 - 00.25 : Janjang Gudang dilihat dari bawah. Potongan ini sama dengan yang terdapat di video sebelumnya, namun dengan dimensi yang lebih besar. Yang menarik adalah gambar seorang laki-laki yang berjalan dengan memakai payung. Padahal orang lain tidak. Mungkin laki-laki itu tidak tahan sinar matahari? :)
00.25 - 00.40 : Janjang gudang dilihat dari atas. Ini juga sudah terdapat di video sebelumnya. Malah dengan diembel-embeli tulisan "Bukittinggi 1926". Hal yang menarik di video ini adalah bahwa rumah-rumah di sekitar Janjang Gudang masih berjarak dengan Janjang. Sepertinya masih punya halaman. Bahkan ada yang masih menggunakan tangga. Kalau sekarang rumah-rumah tersebut sudah mepet ke Janjang meskipun bentuk konstruksi atapnya masih sama. Baju kurung dan tikuluak penutup kepala ibu-ibu juga sampai sekarang masih banyak kita temui. Coba perhatikan seorang ibu yang berdiri memperbaiki tikuluaknya di Janjang. Mengingatkan kepada siapa? Nenek anda atau ibu anda?
00.40 - 00.47 : Tulisan "Alun-alun pasar dengan menara lonceng, hadiah dari penduduk Fort de Kock". Menara lonceng maksudnya pasti Jam Gadang. Tapi hadiah dari penduduk? Hadiah untuk siapa? Untuk sesama penduduk atau untuk pengunjung kota Fort de Kock atau untuk Tuan Residen? Dengan alasan apa sampai penduduk memberi hadiah segala? Entahlah.
00.47 - 01.07 : Jam Gadang dilihat dari arah pasar. Di latar depan terlihat seorang anak sedang berbelanja entah apa. Si penjual memberikan sesuatu dan si anak merogoh kantungnya apalagi kalau bukan mengambil uang dan memberikan ke si penjual. Terlihat juga bendi yang berbaris menunggu penumpang di depan Jam Gadang. Di sebelah kanan terlihat tonggak lampu jalan. Dibelakang anak tadi terlihat orang turun-naik ke Pasar Atas melewati Janjang Gudang seperti orang mau menuju subway di bawah tanah....
01.07 - 01.20 : Gambar yang juga sudah tampil di video sebelumnya. Jam Gadang dari arah Simpang ke Panorama. Perhatikan banyaknya bendi yang lewat. Pasti ini hari pasar.
01.21 - 01.25 : Tulisan : "Pasar dilihat dari menara lonceng".
01.25 - 01.44 : Potongan film ini menunjukkan bahwa asumsi pada video sebelumnya benar. Bahwa gambar ini diambil dari titik tertinggi di kota Bukittinggi yaitu Jam Gadang. Terlihat Pasar Atas begitu besar dan terdiri atas beberapa bangunan yang memanjang sampai ke belakang dengan konstruksi atap bertingkat. Konstruksi seperti ini sampai sekarang masih digunakan untuk pembangunan los pasar oleh Pemda. Disebelah kanan atas terlihat Los Galuang, yang namanya diperoleh dari bentuknya yang berbentuk setengah lingkaran (bahasa Minang galuang artinya melingkar). Dibawah jam gadang terlihat menjadi tempat parkir bendi. Dan disebelahnya adalah Janjang Gudang. Terlihat bahwa baik Pasar Atas maupun halaman Jam Gadang dipagari dengan rapi dengan lampu jalan di sudutnya.
01.44 - 01.50 : Tulisan : "Di Fort de Kock terdapat monster batu terjal yang terkenal dengan nama Kerbouwengat". Maksudnya adalah Ngarai Sianok.
01.50 - 02.30 : Pemandangan Kerbouwengat alias Ngarai Sianok.

Jumat, 15 April 2011

Video : Padang - Bukittinggi (1926)


Perjalanan kita mulai dari tahun 1926.
Sebuah video yang diupload oleh Bovelius di Youtube, yang menurut ambo adalah sebuah "harta karun" yang tak ternilai harganya.
Meskipun tidak bisa berbahasa Belanda, tetapi paling tidak ambo bisa mengira-ngira apa yang dimaksud oleh sang Narator.
Video ini pada awalnya mengisahkan tentang pulau Sumatera. Namun setelah diamati ternyata sebagian besar isinya mengisahkan tentang Padang dan Bukittinggi. Dari hal itu dapat dilihat betapa besar peranan Padang dan Bukittinggi di Sumatera dari sudut pandang penjajah Belanda. Sebab kalau tidak, video ini tidak akan pernah ada.
Rekaman video ini berdurasi 4 menit 14 detik. Adapun menit ke menit dari video ini adalah:
00.05 - 00.35 : Pemandangan Ngarai Sianok yang disebut Narator sebagai "Kerbauwengat". Darimana istilah ini berasal mungkin perlu penjelajahan waktu lebih lanjut. Terlihat bahwa sungai di dasar Ngarai airnya cukup besar. Tidak seperti sekarang yang sudah kecil. Mungkin karena hutan di hulu sudah menyusut.
00.35 - 00.41 : Pemandangan kesibukan pasar, berkemungkinan Pasar Atas Bukittinggi, karena pada latar belakang terlihat Los Galuang yang masih ada hingga kini.
00.41 - 00.45 : Nah, kalau yang ini sudah pasti Janjang 40 di Bukittinggi. Sampai sekarang gerbangnya masih seperti itu. Meskipun pasti sudah bukan yang ada di video ini.
00.45 - 00.56 : Deretan bendi menunggu penumpang di pinggir jalan dan kesibukan amai-amai menyiapkan lapak dagangannya.
00.56 - 01.34 : Sepertinya bukan di Ranah Minang. Dapat dilihat dari pakaian wanita yang mengusir burung di sawah yang terlihat seperti kemben dan rambut tergerai. Bukan tipikal wanita minang. Ditambah lagi dengan cara memanen padi dengan cara dipetik. Juga bukan cara orang Minang. Cara memanggul padi pulang juga bukan cara Minang. Kincir air juga tidak seperti yang biasa dijumpai di Ranah Minang. Jadi, dimanakah ini? Mungkin masih di Sumatera, karena pada awal video ini terdapat peta Pulau Sumatera...
01.34 - 01.45 : Sepertinya sudah kembali ke Ranah Bundo. Wanita bertikuluak sedang bekerja menumbuk padi di lesung yang diputar pasti dengan kincir air atau yang biasa disebut kincia. Perhatikan bahwa wanita minang sambil bekerja tidak melupakan tugasnya sebagai ibu dengan tetap mengasuh anak.
01.45 - 02.24 : Sebuah kapal hendak merapat di Pelabuhan Emmahaven atau yang dikenal sekarang sebagai Teluk Bayur. Sebuah pelabuhan penting di Pantai Barat Sumatera, berjarak kira-kira 10 km dari kota Padang. Dari kejauhan terlihat kereta api berlari, konstruksi baja pelabuhan (mungkin untuk kepentingan semen dan batubara, karena kedua produk itu merupakan produk unggulan pada masa itu), serta rumah dan mesjid di pinggir pantai.
02.24 - 02.34 : Pemandangan dari atas kereta api. Ini pasti di Ranah Minang karena tipikal rel yang digunakan adalah rel dengan gigi di tengahnya. Rel ini konon hanya digunakan di dua tempat di dunia, yaitu Ranah Minang dan Swiss karena medan yang hampir sama, berbukit dan bergunung. Posisi gambar ini berkemungkinan di sekitar Sicincin atau Kayu Tanam karena terlihat kereta menuju ke arah 2 buah gunung, yang hampir pasti adalah Gunung Singgalang dan Merapi.
02.34 - 02.57 : Dari potongan ini kita mengetahui bahwa gambar ini di ambil tahun 1926. Di layar tertulis "Fort de Kock 1926". Fort de Kock adalah nama Belanda untuk Bukittinggi. Dalam segmen ini terlihat kesibukan orang melewati Janjang Gudang, cara cepat mencapai Pasar Atas dari arah luar kota pada masa itu. Shoot pertama dari atas, dilanjutkan dengan shoot dari bawah. Rasanya Janjang Gudang dan rumah-rumah di pinggirnya masih seperti itu hingga sekarang. Alangkah awetnya bangunan lama!
02.57 - 03.14 : Jam Gadang dengan bagian atas yang masih berbentuk kubah ini menunjukkan gambar ini diambil pada zaman Belanda. Pada zaman Jepang kubah itu berganti seperti kuil, sedangkan pada zaman sekarang kubah itu berbentuk rumah adat Minang. Pengambilan gambar sepertinya dilakukan dari arah sudut Gedung Tri Arga, dengan latar belakang Pasar Atas yang masih seperti Los Besar.
03.14 - 03.28 : Berkemungkinan adalah Pasar Atas dipandang dari titik tertinggi di Bukittinggi: Jam Gadang! Hal ini karena kemiripan dengan bangunan pasar yang terlihat dari kejauhan dalam segmen sebelumnya. Terlihat ramai orang dan bendi. Pasar terdiri atas 2 bangunan besar dan berpagar. Cukup rapi kelihatannya.
03.28 - 03.43 : Sebuah mobil tuan meneer melintas entah darimana hendak kemana.
03.43 - 04.01 : Sebuah pemandangan kampung tradisional di Ranah Minang. Ada sekelompok ibu-ibu yang sedang memasukkan jemuran padinya ke dalam karung. Entah karena mau hujan atau karena sudah kering. Di jalan ramai orang yang lewat. Berkemungkinan pada saat itu hari pasar, karena ibu-ibu terlihat berpakain rapi dan banyak yang menjunjung sesuatu di kepalanya, sebuah cara tradisional membawa barang. Selanjutnya anak-anak mencebur ke kolam berenang-ria, sementara di jalan lewat seorang bapak menggiring sapi. How romantic...!
04.01 - 04.14 : Sebuah papan bertuliskan "Over 66 K.M - 1700 Bochten" yang menurut mbah Google artinya "Lebih 66 KM - 1700 tikungan". Wow! Sebuah rambu yang tidak pernah ada sekarang. Siapa juga yang mau ngitung tikungan? Ternyata Belanda mau ya. Terus terdengar Narator mengucapkan kata "Toba" dan "Trans Sumatera". Tikungan yang 1700 tadi pasti berada antara Bukittinggi dan Danau Toba. Dan karena itu pulalah supir yang ahli di Ranah Minang disebut dengan istilah supir Medan. Karena sudah khatam melintas 1700 tikungan dalam 66 kilometer....!
(Update : Tambahan informasi dari pembaca Anonim adalah bahwa Jalan 1700 tikungan itu jalan antara Parapat-Sibolga. Untuk jalur Trans Sumatera jalan ini sudah mulai ditinggalkan karena sempit dan rada berbahaya bagi yang tidak biasa. Wah, kalau gitu sebenarnya istilah yang lebih tepat bukan supir Medan, tapi supir Supir Parapat-Sibolga, ya? :) )

Kronik PRRI (Bagian 6: Wind of War)

Sebelumnya di Bagian 5: PRRI 16 Februari 1958: Presiden Soekarno kembali dari Jepang Presiden Soekarno mempercepat masa istirahat 40 harinya...